Jumat, 25 Maret 2011

TENTANG CINTA


Hari yang cerah seakan menjadi mendung. Aku terduduk lesu di kursi makan. Ku buang tas-ku ke sofa. Kedua tanganku menutupi mukaku. Sebegitu percaya dirikah aku? Sampai-sampai aku berfikir bahwa ia menyukaiku? Baru saja. Tepat saat ia keluar dari kelasnya untuk pulang. Aku membawanya ke taman. Tanpa seorang pun mengikuti dan mengintip kita berdua. Dengan terbata-bata kukatakan perasaanku padanya. Ia menatapku—terkejut.

“Rend?!” ia menatapku dalam. Ada keraguan dimatanya. Dan saat itulah aku tersadar dan tau apa yang akan dijawabnya. “maaf Ren. Aku nggak bisa. Kamu dimataku hanya sahabat. Nggak lebih. Dan nggak akan bisa lebih.” Ia mengatakannya dengan halus—mengiris hatiku. Seakan-akan darah di jantungku tak mengalir lagi. Aku terdiam. Raut wajahku berubah tanpa kusadari. Ia masih menggenggam tanganku. Mengernyitkan dahinya seolah-olah mengiba kepadaku. Aku tak mampu menatapnya. Namun ku coba untuk tersenyum.

“ya. Aku bisa terima.” Jawabku dengan setengah hati. Jujur, aku sangat mencintainya. Melebihi semua wanita yang pernah kukencani. Selama ini. Selama ini kupendam perasaanku. Sampai akhirnya ia menyapaku, mendapatkan senyum dan tangisnya. Namun aku masih ingin dia seutuhnya. Sesuatu yang menjadi miliku. Sesuatu yang dapat kutatap setiap saat tanpa perlu mencuri pandang. Ia memeluku. Entah apa maksudnya. Spontan. Aku balas memeluknya dan menutup mataku. Menyentuh tubuhnya untuk pertama dan terakhir kalinya.

“aku harus pulang.” Celetuknya. “kita bisa pulang bareng.” Aku menoleh kearahnya.

Oh tidak! Jangan membuatku semakin tersiksa. Meskipun aku menginginkannya.

“nggak. M-maksudnya. Aku nggak bisa. Aku harus masuk ke ruang kepala sekolah dulu.” Aku berbohong.

“ok.” Ia berlalu begitu saja. Tanpa menoleh ke arahku. Tanpa kembali ke arahku dan mengatakan ‘aku mencintaimu’. Begitu perih yang ku rasa. Mengapa aku begitu tak sabar untuk mengatakannya? Mengapa aku tak memastikannya dulu, dan mencoba untuk membuatnya mencintaiku?

Aku tersadar dari lamunanku. Tak terasa sudah jam 03.00 siang. Matahari mulai menyinari jendela ruang makan. Untunglah rumah ini sepi. Hening. Tak ada seorangpun kecuali aku. Orang tua ku sedang keluar kota hari ini. Dan kini aku sendiri. Benar-benar sendiri. Dan hatiku amat sangat hancur dengan jawabannya. Namun aku mencoba untuk menerimanya. Mencoba menjadi lelaki yang kuat. Tapi aku tak mampu menahan rasa cintaku padanya. Seolah-olah aku terhipnotis oleh sosoknya.

Keesokan harinya—dunia masih terasa mendung. Kutatap diriku dicermin. Bagaimana bisa aku bertemu dengannya sekarang? Aku tak pernah ditolak mentah-mentah seperti itu sebelumnya. Dan kini aku harus menanggung malu didalam diriku sendiri. Aku tiba di sekolah. Tanpa sadar ia sudah ada di depan mataku. Aku mencoba tetap melangkah. Berpura-pura tak melihatnya. Berpura-pura tak mengenalnya. Ia menatapku dengan setengah tersenyum. Kecewa dengan apa yang dilihatnya. Tepat didepan matanya kulewati dirinya tanpa merasa ada seseorang yang kulewati. Aku terus melangkah. Kurasakan tubuhnya berbalik kearahku yang terus melangkah. Ia tak mengejarku. Aku tak tau bagaimana perasaannya.

Oh, maafkan aku. Aku hanya tak dapat berbicara denganmu untuk saat ini.

Aku melempar tas-ku ke bangku kelasku.

“woit, kenapa nih.., hei Mas Rendra?” sindir temanku, Dimas.

“Boring, Nyet.” Jawabku didepan wajahnya dan duduk disebelahnya.

“yaah.. kapan sih temen lo ini nggak boring?” Sandra datang dengan tiba-tiba dan memukul pundakku. aku membuang muka. Mereka tau benar sifatku. Dan hal itulah yang membuat kita bisa berteman. Cukup sulit untukku mempunyai sahabat seperti mereka berdua. Tak ada yang dapat mengerti aku seperti mereka. Mereka tak akan pernah menanyakan masalahku jika bukan aku yang menceritakannya. Dan itulah yang kusuka dari mereka dibanding teman-temanku yang lain. Dimas adalah teman pertamaku saat masuk ke sekolah ini. Dan sedetik itu juga aku bisa menjadikannya sahabat. Lalu kami bertemu dengan Sandra yang merupakan pindahan dari Samarinda. Sudah tiga tahun kami bersahabat. Dan aku berharap dapat menemukan orang-orang seperti mereka di sekolah berikutnya. Pelajaran berlangsung begitu cepat. Bell pulang pun berdering begitu kencang.

“kita duluan ya Ren, soalnya tadi kita disuruh ke TU” jelas mereka dan segera pergi. Aku mengangkat tas-ku dan meninggalkan kelas.

“Rendra!” teriak seorang wanita. Aku mengenalnya—Ladia. Seorang wanita yang telah menolakku dan menghancurkan hatiku. Aku menghentikan langkahku. Kubiarkan beberapa detik berlalu dan aku berbalik kearahnya. Tanpa menatap matanya. Ia berlari kecil mengejarku.

“kamu kenapa sih? Kamu kenapa menghindar dari aku?” aku tak menjawabnya. “kamu marah gara-gara kemarin?”

“udahlah Lad, beri aku waktu buat ini. Beri aku waktu untuk menghilangkan perasaanku tentang kamu.” Jawabku sedikit membentak. Ia terkejut dengan suaraku. Kulihat tangannya sedikit bergetar.

Oh Tuhan. Aku tak bermaksud membuatnya seperti itu.

“okay. Maaf udah ganggu kamu.” Aku beranikan diri untuk menatapnya. Matanya menahan tangis. Dan aku tak kuasa melihatnya lagi. Ia berlari menjauh dariku. Kukepalkan tanganku sekuat-kuatnya. Meski ku tau hal itu tak akan bisa mengubah apa-apa.

Aku melempar tas ku ke sofa—seperti biasanya. Aku duduk di kursi makan lagi sambil menggenggam segelas air dingin ditanganku.

“anak mama kenapa nih? Tumben-tumbennya kayak gini?” aku terkejut melihatnya ada dirumah. Kupikir ia tak pulang hari ini.

“Mama udah pulang?” aku meminum minumanku.

“ya. Kamu kenapa?” ia duduk dikursi didepanku. “cerita.” Ibuku adalah orang yang keras kepala. Sekali ia mengatakan sesuatu, ia harus mendapatkannya.

“udahlah Ma.. ini Privasi.”

“Privasi? Selama kamu masih jadi anak mama, nggak ada Privasi.” Aku menghabiskan minumanku di tegukan ke-empat. “ apa karena cewek lagi?”

“udahlah..” aku menaruh gelasku di atas meja bersiap untuk masuk kedalam kamar.

“Rendra!” aku tau. Sepintar-pintarku untuk menghindar. Ia pasti akan tetap menanyakannya. Akhirnya kuceritakan semuanya padanya. Semua. Semua tentang Ladia. Ia tersenyum—hampir tertawa. Dan itu membuatku muak. Wajahku memerah.

“kamu harus belajar ditolak, kamu bilang.. ini pertama kalinya kamu ditolak? Berarti kamu harus belajar untuk menghargai perasaannya. Ingat! Nggak semua cewek punya rasa yang sama kayak kamu.” Nasihat itu menggema dikepalaku.

Aku harus bisa menerimanya. Aku harus bisa menghargai perasaannya

“WHOY!” teriak Sandra. Aku tersentak dari ingatanku kemarin siang. “ada yang nyari lo tuh..”

“siapa?”

“udah..lo liat aja didepan kelas.” Dengan sedikit malas. Aku bangit dari kursiku dan betapa terkejutnya saat kulihat tubuh tinggi Ladia berdiri didepan kelas tersenyum padaku.

“Ladia?”

“sorry. Tapi aku nggak bisa kayak gini terus.” Ia duduk dikursi depan kelasku.

“maksud kamu?” tanyaku dingin. Aku menyusulnya duduk disampingnya.

“aku nggak bisa liat kamu diam kayak gini. Kamu bukan seperti yang aku kenal dulu.”

“aku juga nggak tau harus gimana, Lad. Kayaknya aku harus sendiri dulu untuk beberapa hari ini.”

“tapi aku nggak bisa ngeliat kamu kayak gini. Tolong kembali kayak dulu.”

“kamu bilang kamu nggak punya perasaan apa-apa. Kenapa kamu harus mikirin aku?”

“kamu sahabatku. dan aku nggak akan pernah bisa lihat sahabatku kayak gini.” Hatiku seakan tersayat mendengarnya.

Sahabat. Ia hanya menganggapku sahabat. Tidak lebih..

Sesaat aku teringat kata-kata ibuku. Aku berusaha untuk menutupi ketidaksukaanku.

“kamu harus bisa! Karena aku ngga akan kayak dulu lagi!” Bell masuk berbunyi. Dan semua siswa berlarian masuk kedalam kelas. Kami masih saling bertatapan. Aku melihat setitik air mata di ujung matanya. Aku segera mengalihkan pandanganku. “sorry”

Aku beranjak pergi. Meninggalkannya sendiri didepan kelasku. Sekali lagi. Aku menyakiti orang yang kucintai.

“permisi kak,” seorang siswi mendekatiku dengan malu-malu. “aku menatapnya aneh.” Kepalanya tertunduk. Ia memberiku sebuah surat. Sandra datang dari belakangku. Gadis itu berlari menjauh.

“apaan tuh?” ia melihat sesuatu ditanganku. “cieee.. hahah” rayunya. Aku membukanya. tulisan itu. Tulisan yang sama seperti gadis-gadis yang lainnya. Tulisan gadis yang sedang jatuh cinta. Aku membuangnya. Tanpa membacanya lebih lanjut aku membuangnya tepat di tong sampah disampingku. Aku tak peduli gadis itu masih melihatku atau tidak. Aku segera pergi. Sandra bingung dengan sikapku.

“lo nggak harus kayak gitu!” ia mengejarku dan mencengkram pundakku. “se-enggaknya lo bisa jaga perasaan orang!” aku baru pertama kali melihatnya benar-benar semarah ini.

“dia nggak tau siapa yang dia sukain.” Aku tersenyum sinis. Mencoba untuk menjadi orang sekejam mungkin.

“bukan karena satu cewek, terus lo bisa lukai puluhan cewek yang suka sama lo!” aku tersentak.

“maksud lo?”

“gue tau lo ditolak sama Ladia. Cewek yang lo impi-impikan itu.”

“lo nguping gue?” geramku.

“seharusnya lo tau. Nggak Cuma dia cewek didunia ini.!” Aku terdiam tetap menatapnya seperti musuh. “nggak Cuma dia yang bisa buat lo bahagia! Ada ribuan cewek didunia ini selain dia. Apa lo nggak bisa sedikit aja senyum sama orang itu?! Gue kecewa sama lo Ren. Gue pikir lo masih punya hati. Tapi apa? Lo Cuma LOSER!” bentaknya sambil mengacungkan tanda ‘L’ dengan tangannya didepan wajahku.

“gue pikir lo bisa ngertiin keadaan gue! Ternyata lo sama kayak anak-anak yang lain!!” teriakku padanya yang terus melangkah menyusuri koridor-koridor sekolah yang telah sepi.

“DAMN!” aku menendang sebuah tong sampah yang ada didepanku dan membiarkan isinya terkoyak keluar.

“HEY!!” terdengar suara berat dari kejauhan.

KEPALA SEKOLAH?!

Apa yang terjadi?! Apa tak ada yang dapat mengerti perasaanku? Disaat aku sedang dilanda gusar, aku malah terpaksa memunggut sampah-sampah ini. Ah! Aku menyesal menendangnya. --‘

Keesokan harinya—Sandra membuang muka saat bertemu denganku. Aku tak terlalu memperdulikannya. Yang kupikirkan hanyalah Ladia.

“kalian kenapa?” tanya Dimas dengan bodohnya. Aku tak menjawabnya. Sandra pun tak menjawabnya. Ia bertanya bolak-balik dari aku sampai Sandra. Tapi kami tetap membisu. Sampai akhirnya bell pulang berbunyi. Langkahku terhenti saat melihatnya keluar dari kelasnya. Aku menatapnya sejenak. Ia membuang muka dan berlalu begitu saja.

Dua orang wanita memperlakukanku seperti ini? Apa-apaan?!

Ya. Aku tau ini memang salahku. Tapi inilah sifatku. Aku tak bisa mengubahnya. Karena aku memang terlahir seperti ini. Jika seseorang mencintaiku, aku hanya mau ia mencintai kelebihan dan kekuranganku juga. Karena aku akan melakukan hal yang sama seperti yang aku inginkan. Sial. Mengapa aku masih memikirkannya? Padahal ia tak pernah memikirkanku. Sejak kapan aku menjadi seperti ini?! iya. Setelah bertemu dengan wanita cantik bernama Ladia. Aku gila dibuatnya. Tiada hari tanpa wajahnya. Tak ada hari tanpa senyumannya. Ia benar-benar wanita yang ku inginkan. Caranya tersenyum, caranya menyapaku, caranya mencubitku, semua membuatku sadar bahwa hanya dia wanita yang pantas untukku. Tapi perasaan kami berbeda. Lebih tepatnya bertepuk sebelah tangan. Oh sangat sakit memikirkannya. Tapi hanya dia yang kubutuhkan. Hanya sekedar menatapnya saja. Hanya sekedar melihat senyumnya. Tapi keangkuhanku sudah terlalu jauh. Aku tau itu. Dan aku bahkan telah menyakiti puluhan wanita tanpa kusadari. Aku masuk kedalam mobil. menjalankannya keluar sekolah. diuar sudah sepi. Yang kulihat hanya dia disana. hanya sendiri. Menunggu jemputannya. Kulihat ia sedang menghubungi seseorang.

“se-jam lagi?” terdengar samar-samar teriakannya. Ku jalankan mobilku pelan didepannya. Ia tak melihatku. “sekolah udah sepi, Ma.” Sambungnya dan segera mematikan handphone-nya. Aku menghentikan mobilku. Keluar dan menariknya masuk kedalam. Ia bingung.

“kamu ngapain?!” ia terkejut. Sadar bahwa yang menariknya adalah aku.

“aku bisa anter kamu.”

“mama-ku bisa jemput aku!”

“satu jam lagi! Satu jam lagi. Apa kamu mau gosong nunggu satu jam lagi ditempat panas kayak gini?!” ia tak dapat berkata apa-apa. Wajahnya cemberut menghadapku. Sesampai dirumahnya, ia keluar tanpa mengatakan sepatah katapun. Tanpa menoleh kebelakang lagi. Aku menunggunya hingga masuk kedalam rumahnya. Aku menghembuskan nafas. Apakah ini karma? Mengapa sekarang ia yang membisu terhadapku. Dan mengapa aku harus mengantarnya? Karena ia wanita. Dan ia sedang sendiri. Ya. Itu jawabannya.

Hari ini hari minggu. Aku sedang berada di taman kota. Menggunakan sepedaku—kegiatanku setiap hari minggu. aku melihatnya! Ya aku melihatnya. Baru saja terpikir untuk menemuinya. Namun seorang lelaki mendekatinya. Membawakan sebatang ice cream padanya. Ia tersenyum dan menyambut ice creamnya. Lelaki itu duduk disampingnya membelakangiku. Dunia seakan runtuh dihadapanku. Jadi ini yang membuatnya tak bisa menerimaku? Tapi aku tak pernah melihat lelaki ini sebelumnya.

Tidak! Aku tidak cemburu. Aku tak peduli lagi padanya. Tak ada apa-apa diantara kami.

Benakku. aku segera menjauh dari mereka. Oh Tuhan! aku tak mungkin merusak hubungan mereka. Sekalipun aku mencintainya. Aku tak mau menjadi orang ketiga. Tapi. Aku tak tau apa yang harus kulakukan. Aku meletakkan sepedaku disamping kursi taman. Terdiam. Menggenggam sebatang ice cream dingin yang lezat.

Semoga ini bisa mendinginkan otakku.

Pikirku.

“ehem,,” terdengar seorang wanita berdeham. Ladia?! Bukan. Seseorang yang telah tiga tahun menjadi sahabatku. Sandra. Aku menoleh kearahnya—bersikap normal. Ia mengenakan jaket merah dan menutup kepalanya dengan topi jaketnya—sama sepertiku. “sorry. Gue udah keterlaluan kemarin.” Ia duduk disampingku. Aku tersenyum tanpa menatapnya.

“yaa,, gue tau kesalahan gue.” Jawabku.

“so, apa lo bisa berubah sekarang?!”

“nggak. Sorry. Gue nggak bisa lupain dia.”

“udahlah Ren, di nggak cinta sama lo. Perasaan kalian berbeda. Jangan paksa dia.”

“gue nggak pernah paksa dia”

“tapi lo nggak bisa menerima kenyataan. Lo…” Jelasnya—lebih keras kepala.

Please.. jangan buat gue tambah hancur!

“please, San..” aku menghentikan kata-katanya. Ia menatapku. Tersadar atas kelancangannya.

“sorry. Gue emosi.”

“please. Gue bener-bener nggak bisa mengendalikan perasaan ini San.” Matahari mulai turun. Dan mulai melelehkan ice creamku. Aku membuangnya. Aku sudah tak berniat untuk memakannya lagi. Emosiku sangat terguncang saat melihat mereka berdua. Seolah-olah aku ingin mematahkan sepedaku sendiri. Kami terdiam. Aku dan Sandra. Tak lama kemudian handphone-nya berbunyi. Ia mengangkatnya. Berbicara beberapa menit. Lalu menengok ke arahku.

“lo nggak apa-apa kan gue tinggal?”

“nggak.” Jawabku singkat. Ia tersenyum lalu melanjutkan pembicaraannya.

“oke gue pergi sekarang.”

Aku pulang. Mereka sudah tak ada ditempat saat aku melihat mereka. Tak ada yang bisa kukatakan. Yang pasti aku sangat terluka. Aku telah mencoba melupakan perasaanku. Namun itu tak mudah bagiku.

Hari berikutnya—Tak ada lagi semangat untuk sekolah dan bertemu dengannya. Aku sudah lelah dengan perasaanku sendiri. Selama disekolah aku terus berusaha untuk tak bertemu dengannya. Tapi saat diparkiran, semuanya sudah tak dapat dihindari. Aku melihatnya bersama lelaki itu. Tersenyum dan sangat bahagia. Ditengah canda tawanya, ia melihatku. Senyumnya menghilang berubah menjadi keterkejutan. Ia salah tingkah didepanku. Aku mencoba bersikap untuk biasa saja. Namun hatiku tak dapat menipu perasaanku. Aku berjalan didepan mereka. Memasuki mobilku. Menutup wajahku dengan kedua tanganku. Berusaha untuk merubah wajahku yang tegang. Tiba-tiba ia menggedor kaca mobilku. Ia terlihat panik. Aku membuka jendelaku.

“apa lagi?” tanyaku ketus.

“apanya yang apa lagi?” ia balik bertanya. Aku keluar dari mobilku.

“kamu bisa jelasin cowok itu siapa?!” aku menatapnya tajam. Hatiku sudah retak namun belum siap untuk hancur. ia terdiam sejenak.

Please, jangan bilang kalau dia…

“dia pacarku.” Jawabnya singkat. Aku memejamkan mataku. Kini hatiku benar-benar hancur. Ia tak mampu memandangku.

“ok. Terus kenapa kamu kesini?”

“aku Cuma nggak mau kamu salah paham!”

“untuk apa?!” aku mengernyitkan dahiku. “aku tau dia yang buat kamu nggak nerima aku.”

“bukan itu!” sangkalnya.

“Ladia!” lelaki itu memanggilnya. Ia menoleh kearahku.

“aku nggak bisa jelasin sekarang.” ia berlari menuju kekasihnya.

Oh Tuhan, aku benar-benar merasa mati sekarang.

Apa memang benar ia tak dapat menerimaku karena lelaki itu? Apa karena ia benar-benar tak mencintaiku. Pikiran itu membuatku semakin hancur. malam ini aku tak bisa terus menggerutu di dalam rumah. Aku butuh udara segar. Dengan jaket setinggi leher aku berjalan menyusuri gelap dan dinginnya malam. Dengan kelap-kelip cahaya jalan yang menambah kesengsaraan batinku. Aku terus berjalan dan berjalan. Tak tau arah yang ku tuju. Tak tau apa yang ku cari. Angin begitu kencang. Meniup wajah dan rambutku. Dingin semakin menjadi. Ku masukan kedua tanganku kedalam kantung jaketku. Orang-orang berjalan disekelilingku. Tak memikirkan satu sama lain. Entah mengapa takdir mempertemukanku dengannya. Ia duduk dikursi tunggu sebuah halte bis—menangis. Ada apa dengannya. Aku tak tau. Aku berdiri di depannya yang sedang terisak. Kuberikan sapu tanganku padanya. Ia menatapku. Lalu meraih sapu tangan yang kuberikan. Tangisnya semakin menjadi. Aku duduk disampingnya. Tanpa bicara sepatah katapun. Ia tak berniat menceritakan masalahnya sama sekali.

Apa aku harus bertanya? Oh tidak. Aku tidak harus peduli padanya. Aku tidak menyukainya. Aku tidak menyayanginya.

Namun secepat kata-kata itu terlintas dikepalaku. Secepat itulah hatiku hancur kembali. Tangisnya mulai mereda. Tak terasa waktu menunjukan pukul 09.00 malam.

“aku antar kamu pulang.” Ajakku. Ia tak merespon kata-kataku. Aku bangkit dari dudukku. Berdiri dihadapannya dan memberi bantuan tangan untuknya. Ia menatap tanganku. Lalu kearah wajahku. Ia beridiri dan tak kuduga ia memeluku. Erat. Seakan ia sangat membutuhkan pelukan untuk menenangkannya. Aku balas memeluknya—untuk kedua kalinya. Itu membuat hatiku utuh kembali. Seakan aku telah menjadi miliknya. Dan kami berdua adalah sepasang kekasih. Kendaraan terus berlalu lalang di hadapan kami. Ia melepas pelukannya. Menatapku. Ada sesuatu yang ingin ia katakan. Namun entah mengapa ia mengurungkan niatnya.

“Bilang.” Kataku sambil terus menatapnya. “ bilang kalo kamu cinta sama aku. bilang kalo kamu nggak mau kehilanganku.” Paksaku. Air mata kembali menetes dari matanya.

“nggak bisa Rend.” Ia menggelengkan kepalanya—setengah berbisik. Aku memeluknya lagi. Dan ia tak menolaknya. Aku tak mengerti apa yang ada di pikirannya. Apa aku hanya pelepas rindunya saja?

Aku memegang tangannya. Mengajaknya berjalan. Untuk beberapa saat. Sikap dingin merasuki kami berdua.

“maaf.” Celetukku. “maaf. Aku udah egois. Maaf aku udah paksa kamu untuk cinta sama aku.”

“hubungan ini sulit Ren. Aku nggak bisa begini.” Jawabnya. Tak terasa kami sampai dirumahnya. Ia menatapku—dalam. Aku meremas tangannya seolah tak ingin berpisah. Ia berjalan menyusuri tangga menuju pintu rumahnya. Ia menoleh padaku dan tersenyum. Ada yang berbeda dari senyumnya. Senyum ketulusan. Senyum kepasrahan. Aku membalas senyumnya. Aku sadar. Sudah lama aku tak melihat senyumnya lagi. Dan kini senyumnya begitu indah. Lebih dari yang pernah kulihat.

Berhari-hari berlalu begitu saja. Aku tak pernah melihatnya bersama lelaki itu lagi. Aku ingin menanyakannya. Namun kupikir, mulai kini, aku harus melupakannya. Benar-benar melupakan perasaanku. Benar-benar menghilangkannya dari ingatanku. Kami tak pernah bertemu. Kami tak pernah saling menyapa. Kami hidup dengan hidup kami sendiri. Dan tak terasa. Tiga tahun ini akan segera usai. Tak pernah kusangka perasaan yang kupendam selama tiga tahun ini akan berakhir tragis. Kami berpisah. Seluruh siswa berpisah. Aku dan dia. Aku dan kedua sahabatku. Aku dan siswa-siswa yang lainnya. Semua begitu cepat. Cerita ini. perasaanku padanya. Semua begitu cepat berakhir. Ditengah keramaian prom night ia mendatangiku. Berhenti didepan wajahku. Ia begitu cantik. Benar-benar seperti seorang Ladia. Aku mengulurkan tanganku. Dan menunjukan lantai dansa padanya. Ia tersenyum dan menerima tanganku. Kami berdansa. Dan aku tak akan melewati setiap tatapan matanya padaku. Aku tersenyum. Memeluknya semakin erat. Seakan tak ingin acara ini terhenti. Tak ingin masa-masa SMA ini berakhir begitu saja. Mungkin ini adalah pelukan terakhirku untuknya. Mungkin ini adalah senyuman terakhirku dimatanya.

“aku akan pergi.” Bisikku ditengah dansa. Lehernya menegang.

“pergi?”

“ya.” Jawabku. “kita nggak akan ketemu lagi. Dan mungkin ini jalan satu-satunya untuk lupain perasaanku ke kamu.” Aku melihat penolakan dari bahasa tubuhnya. Ia memelukku semakin erat. Seakan tak ingin aku melupakannya. Namun semua sudah berakhir. Tidak ada kisah diantara kita. Dan aku harus melupakannya. Walaupun setengah hatiku tak mampu.

“kamu mau kemana?” tanyanya. Ada sedikit kepedihan dari tutur katanya.

“mungkin Bali adalah tempat yang tepat untukku. Aku akan menyelesaikan kuliah dan kursusku disana.”

“berapa lama?” aku terdiam sejenak.

“mungkin selamanya.” Jawabku singkat.

Ini adalah malam terakhir yang ku nikmati di tempat kelahiranku ini. Dan ketika matahari memunculkan sinarnya. Tak ada lagi canda tawa dari Sandra dan Dimas. Tak ada lagi kisah tentang aku dan Ladia. Tentang Cinta yang sangat membutuhkan mental yang kuat. Membutuhkan waktu yang panjang. Dan membutuhkan air mata yang tak sedikit. Kisah ini akan berakhir. Mungkin bukan tentang cinta. Tapi tentang penolakan dan kepedihan. Aku mengemas barang-barangku kedalam koper. Ibuku muncul dari balik pintu. Duduk disebelahku yang sedang memegang gambar wajah Ladia.

“kamu benar-benar mau pergi?” ia mengelus kepalaku.

“harus Ma. Aku harus belajar menerima keadaan. Dan menurutku, Bali memang tempat yang tepat untuk meneruskan pendidikanku.” ia menatapku—dari atas kebawah. Seakan-akan anak yang dirawatnya dari kecil. Kini sudah menjadi lelaki yang tegar. Menjadi lelaki yang tau tentang arti cinta yang sebenarnya—cinta tak harus memiliki. matanya siap menumpahkan tangisan. Ia memeluku.

“hati-hati disana, nak. Kamu harus jadi lelaki dewasa disana. dan jangan pernah melupakan Mama dan Papa.”

“pasti, Ma” aku mengelus punggungnya halus. Suara berat terdengar dari balik pintu yang sedikit terbuka.

“kita berangkat sekarang.” ayahku menunjukan jam tangannya yang menunjukkan pukul 09.00 pagi.

Segera ku simpan gambar Ladia di dalam laci kamarku. Berharap aku tak akan menemukannya lagi. Berharap suatu saat tak ada lagi kepedihan saat melihat wajahnya. Tak ada kenangan tentangnya didalam koper-ku. Dan sebentar lagi, tak akan ada lagi perasaan untuk seorang Ladia di dalam hatiku. Kami sampai di Bandara. Sandra dan Dimas ikut mengantar kepergianku. Beberapa menit lagi aku akan meninggalkan kota ini. Meninggalkan semua kenangan-kenanganku. Dan akan memikirkan masa depanku disana. aku melambaikan tangan kearah mereka.

Tak ada lagi Ladia. Tak ada lagi Ladia…

Aku segera memasuki ruang tunggu.

“RENDRA!!” samar-samar terdengar seseorang memanggil namaku.

LADIA?!

Ia datang dan mencengkram pundakku.

“Bisakah kamu bilang sekali lagi, apa yang kamu bilang sebulan yang lalu kepadaku?” Kata-katanya membuatku bingung. Matanya menggambarkan keyakinan. Aku terdiam sesaat.

“Rendra?” aku menunduk.

“aku nggak bisa, Lad.” Jawabku sambil menatapnya. Ada kekecewaan di matanya. Aku melepaskan cengkramannya dari pundakku. “maaf.” Aku berusaha untuk tegar dengan jawabanku. Aku segera memasuki ruang tunggu. Tanpa menoleh kebelakang untuk memastikan keadaannya. Aku tak mampu untuk itu. Aku duduk dikursi tunggu. Memastikan jawabanku benar. Memastikan bahwa tak ada cinta yang tersisa untuknya. Aku tak habis pikir, mengapa di setiap akhir cerita cinta selalu ada air mata. Aku mencari jawaban bahwa apa yang kukatakan itu benar. Namun aku kalah dengan perasaanku. Mengapa hatiku terluka saat mengatakan hal itu?! Mengapa aku tak mampu untuk sekedar menoleh kearahnya?! mengapa jantungku berdetak cepat hingga saat ini?!

Aku masih mencintainya.

Aku berlari keluar dari ruang tunggu. Berharap ia masih menungguku diluar. Tapi mereka tak ada disana. Aku terus berlari mencarinya. Dan aku menemukannya berjalan diantara Sandra dan Dimas.

“LADIA!” ia menoleh. Dan terkejut. Tak menyangka aku kembali untuknya. Aku berlari ke arahnya.

“apa masih ada kesempatan untuk aku?” tanyaku penuh harapan.

“maaf…”

“Aku cinta kamu.” Potongku.

“maaf aku udah buat kamu nggak bisa lupain aku.” ia mendekat kearahku. “dan maaf kalo aku udah mengganggu pikiran kamu selama ini. tapi aku hanya ingin kamu tau. Aku memang nggak punya rasa untuk kamu saat itu. Tapi saat aku tau kelembutan hati kamu. Ada sesuatu yang membuatku berpikir bahwa kamu adalah yang terbaik.”

“katakan ‘iya’..” jantungku bergetar hebat. “katakan kalo kamu cinta sama aku” aku memegang tangannya—erat. Meyakinkan perasaanku.

“Iya. Aku cinta kamu.” Aku tersenyum dan memeluknya.

“jangan pernah berubah pikiran.” pintaku. Sandra dan Dimas tertawa dan ikut bergabung dengan kami.

Walaupun kisah cinta ini berubah drastis. Aku tetap harus pergi untuk melanjutkan pendidikanku di Bali. Aku harus tetap pergi. Ladia dapat menerima kepergianku. Kita tetap berhubungan lewat e-mail dan video call.

Dan pada akhirnya. Aku dapat merubah takdir. Satu hal yang ku dapat. cinta bisa datang tiba-tiba. Cinta bisa datang karena terbiasa. Karena ketulusan hati kita untuk orang yang kita cintai. Kita akan mendapatkannya. Kita akan mendapatkan cintanya dengan ketulusan dan kelembutan kita. Bukan karena pasrah dengan keadaan. Bukan karena marah dengan penolakan. Ketegaran adalah sikap yang tepat untuk melewati kepedihan.

THE END

Tidak ada komentar:

Posting Komentar