Jumat, 25 Maret 2011

CINTA HARUS MEMILIH


Aku terduduk tak berdaya disebuah kursi taman disekolahku. Sudah tiga hari ini ia hanya membicarakan anak yang hadir secara tiba-tiba di kehidupan kami. Dan ia tak pernah memikirkan perasaanku, kekasihnya, saat ia berbicara tentang lelaki itu. Ia selalu mengumbar-umbarkan semua kelebihan lelaki itu didepanku. Apa ia lupa bahwa aku adalah kekasihnya?

“hey..” terdengar suara seorang wanita dibelakangku. “udahlah.. paling Nayla Cuma becanda.” Ujarnya menenangkanku.

“ya nggak bisa gitu donk Sheil, se-enggaknya dia bisa jaga perasaan gue!” bentakku.

“yaa.. mungkin dya nggak sengaja nyakitin hati lo” tambahnya sambil duduk disampingku. “udahlah.. lo tau sendiri kan, sifatnya si Nayla kayak gimana?” aku terdiam. Selama beberapa menit Sheila masih menatapku, lalu tertunduk.

“apa sih kelebihannya cowok itu?” celetukku ditengah kesunyian.

“gue juga nggak bisa ngomong Dit, emang sih dia cakep. Tapi selera orang kan beda-beda.”

“Menurut lo?”

“menurut gue? Dia biasa aja. Ah masih gantengan lo kok! Yuk masuk kelas. Udah nggak usah dipikirin lagi.” Rayunya.

“males gue.” Jawabku singkat.

“Yaelah… oke, gue tau lo marah, dan Nayla emang salah. tapi apa lo mau terus-terusan begini sama dia?”

“gue akan terus cuek! Sampe dia tau, gue lebih pantas ada disampingnya dibanding cowok tengik itu!” ujarku lantang.

“ok ok! Radit come back! Haha.. udah bell nih, guru udah masuk dari tadi.”

Aku, Sheila, dan Nayla memang sudah bersahabat sejak dulu. Dan setelah beberapa lama waktu berlalu. Aku dan Nayla berpacaran. Kami selalu bersama kemanapun kita pergi. Dan gara-gara lelaki itu. Semua impianku menjadi hancur. Selama pelajaran berlangsung, tak satupun materi masuk keotakku dan tak sedikitpun mataku menatap wajah Nayla. Namun suara tawa yang tiba-tiba keluar dari bibirnya membuatku muak. Ia memang seorang wanita yang cuek. Dan karena itulah aku memilihnya. Bukan karena kecantikannya ataupun kekayaannya. Namun entah mengapa ada sesuatu yang berbeda disaat ku menatap matanya. Ada sesuatu yang membuatku selalu mengalah dan selalu mengikuti kemauannya. Tapi TIDAK untuk hari ini. Keputusanku sudah bulat. Mungkin hari ini adalah hari terakhirnya dihatiku.

“Nayla!” seruku saat berada didepan gerbang sekolah. Ia terkejut mendengarku memanggilnya. Ia segera berbalik kearahku.

“kenapa?”

“ada hal penting yang mau aku omongin.” Jelasku. “mungkin…” belum sempat seluruh kata-kataku menjelma ditelinganya, seorang wanita langsung mendekap mulutku.

“Hey, Nayla! Lo pulang aja duluan. Gue mau ngomong penting sama nih cowok.” Ujar Nayla. Dengan senyum yang membuatku jatuh cinta padanya, ia pun berlalu

“mau lo apa?!” teriaku di koridor sekolah. Saat itu hampir seluruh siswa telah keluar dari sekolah.

“lo gila ya! Lo mau bilang putus kan sama Nayla?” bentaknya kearah wajahku.

“terus mau gimana lagi? Apa gue harus selalu jadi budaknya dia? Selalu dengerin cerita-cerita tentang cowok itu dari mulutnya?”

“Hey sadar! Lo nggak harus putus! Apa lo mau kalah sama tuh cowok?! Don’t be a chicken!!”

“terserah! Terserah!!” aku segera meninggalkannya di koridor-koridor sepi sepanjang kelas.

Hari kedua setelah pertengkaran hebatku dengan Nayla—pagi yang cerah menjadi berawan saat kulihat Nayla sedang asyik berbicara dengan lelaki itu.

“ehem,” celetukku ditengah-tengah gelak tawa mereka. Mereka berdua tersenyum padaku. Bibirku sudah bergetar ingin menyumpahi lelaki itu. Namun lagi-lagi…

“Hai,, Henry! Gue cari lo kemana-mana. Ada yang mau gue omongin nih!” teriak Sheila. Ia menarik lelaki itu menjauh dari ku dan Nayla. Nayla merengkuh lenganku. Entah apa yang ada dalam benakku sehingga aku tersenyum menatapnya. Dan saat itu kami berbaikan.

“Gue peringatkan ya sama lo, gue pacarnya Nayla! Jadi jangan pernah lo sentuh dia lagi didepan ataupun dibelakang gue..!” bentakku saat berada di kantin. Ia berdiri dari duduknya.

“Kalo gue nggak mau, lo bisa apa?” kesabaranku telah habis. Tak kusangka lelaki yang selalu dipuji oleh kekasihku berkelakuan seperti ini. Segera bogem mentahku mendarat di wajahnya. Ia tersungkur ke arah meja kantin.

“itu yang lo dapet!” aku meninggalkannya setelah semua murid menonton acara live itu. Sore hari dirumahku—handphone ku berdering kencang. Dan saat kulihat, ternyata Nayla.

“halo?”

“kamu apain Henry?”

“oh.. dia ngadu sama kamu? Jadi cowok yang kamu puji-puji sepanjang hari itu kayak gitu?” ketusku

“kamu kenapa sih? Henry itu teman aku! Cuma teman!”

“ya ya ya.. aku tau kok setiap cewek pasti bilang kayak gitu ke pacarnya. Tapi apa orang lain tau? Hah??!”

“Udah Dit! Ternyata kamu nggak bisa ngertiin aku! Aku nggak mau cari ribut!!”

“hah? Justru kamu yang nggak bisa ngertiin perasaanku!” sambungan diputuskan.

“DAMN!!” teriakku didalam kamar. Setelah kejadian itu, kami tidak saling bertegur sapa selama beberapa minggu. Ia selalu bersama Henry, meninggalkan kekasih dan sahabatnya. Sampai akhirnya aku memilih untuk mencari jalan pintas. Ku ajak salah satu wanita disekolahku untuk berkencan. Sangat berbeda dengan kencanku bersama Nayla yang penuh dengan gelak tawa. Lalu tiba-tiba Sheila muncul ditengah-tengah kencan gelapku.

“Oh.. jadi gitu!” aku tak dapat berkata-kata. Aku hanya dapat berbisik kearahnya namun ditampiknya.

“ada apa ya?” tanya teman kencanku.

“gue pacarnya Radit! Lo mau apa? Hah?!” jawab Sheila dengan semangat. Wanita itu melihat kearahku.

Plak!

Sebuah tamparan keras mendarat di pipi ku. Ia pun berlalu.

“nggak gitu caranya Dit!”

“lo liat sendiri kan dia makin deket aja sama Henry?”

“tapi nggak gini caranya!”

“gue tau yang terbaik itu putus.”

“lo nggak harus kalah sama cowok itu!!”

“lo nggak tau perasaan gue Sheil! Lo nggak tau!”

“gue tau! Gue pernah ngerasain sama seperti yang lo rasain! Dan saat itu gue jadi chicken yang nggak berdaya didepan kedua orang itu!!”

“dan seharusnya lo tahu perasaan gue!”

“Gue tau!! Dan gue nggak mau nasib lo sama kayak gue! Dan asal lo tau gue nggak pernah mau kalian putus, karena kalian sahabat gue! Oke gue tau Nayla emang salah! tapi apa lo mau ikut-ikutan salah?” aku terdiam ditengah caci makinya.

“terus gue harus gimana?”

“lo ikutin alur ceritanya! Lo liat sampe kapan mereka bisa kayak gitu.” Aku berfikir sejenak.

“huft.. oke.. gue salah., dan karena lo udah ngancurin kencan gue, lo harus temenan gue jalan”

“Radit..!”

“come on.. masih jam 08.00 malem kok.. kita jalan-jalan satu jam aja, terus gue anter lo pulang.” Sheila tersenyum dan mengangguk.

“oke deh.. kalo itu bisa buat sahabat gue yang lagi stres ini senang.”rayunya. kamipun tertawa. Hari-hari kulewati tanpa Nayla, dan yang selalu disampingku kini hanya Sheila. Entah mengapa muncul rasa yang aneh menurutku setelah kencan jadi-jadian kami 4 hari yang lalu. Ada sesuatu yang berbeda darinya yang tak kutemukan saat masih bersama Nayla. Kulihat kearah kiri. Jauh dari pandanganku, Nayla dan Henry sedang asyik membaca sebuah buku. Dan entah mengapa rasa cemburu yang membara itu lenyap walaupun masih ada sedikit rasa kesal dihatiku.

“udah jangan diliat terus.” Celetuk Sheila yang tiba-tiba ada disampingku. “ntar ngamuk sendiri lho!” ujarnya disela-sela suara tawanya. Aku hanya tersenyum melihat senyum manis yang terpancar di wajahnya. Aku masih takut mengartikan ini sebuah cinta. Dan aku masih menganggak ini adalah sebuah mimpi. Sahabatku yang telah lama kukenal, menjadi orang yang kusukai? Masih terasa aneh bagiku. Hingga hari ke hari, perasaan itu kian menjadi. Dan aku pun merasakan sinyal darinya. Akhirnya kucoba untuk mengatakan cinta padanya. Tapi dengan setengah hati ia menolaknya.

“lo jangan gila Dit!”

“gue nggak gila! Gue nggak bisa bohongin perasaan yang lahir secara tiba-tiba ini!!”

“tapi lo masih punya Nayla! Sahabat gue!” matanya mulai berkaca-kaca.

“Nayla? Apa dia masih inget gue? Dia udah lupa kalo kita pacaran. Dia Cuma inget muka si Henry itu aja!” air mata berlinang di pipinya. “kenapa lo nangis?” tangisnya semakin menjadi. Aku tak kuasa melihatnya. Ia mencoba untuk berbicara.

“lo nggak tau betapa sakit hatinya waktu gue tau kalian pacaran.” Aku terkejut dan menoleh kearahnya. “gue coba menerima semuanya. Gue coba untuk mengalah dengan sahabat gue!”

“maksud lo apa?” tanyaku penasaran.

“waktu pertama kita ketemu, gue udah suka sama lo! Dan akhirnya kita bertiga bersahabat, tapi apa daya, saat Nayla bilang kalo dia suka sama lo, gue Cuma bisa menyimpan perasaan ini! Karena gue tau, segala sesuatu yang dia miliki lebih dari yang gue punya! Dan akhirnya lo milih dia!!” tanganku memegang pundaknya. “sakit Dit! Sakit! Saat lo nembak dia didepan mata kepala gue. Dengan setangkai bunga dan lo pegang tangannya, Itu adalah mimpi gue! Dan Nayla merebut semuanya!!” aku memeluknya erat.

“maafin gue Sheil! Gue nggak tau kalo sebenarnya semua kayak gini! Maafin gue kalo gue lebih memilih Nayla sebelum lo!” tangannya ikut memeluku.

“seandainya semua nggak serumit ini..” sekian pembicaraanku dengan Sheila malam itu.

Pagi yang cerah—aku melihat kelas sudah lumayan ramai saat itu. Dan tentunya sudah ada Sheila disana. Aku melangkah kearahnya. Aku bersujud dihadapanya. Ku genggam tangannya. Dan kuberikan setangkai bunga padanya.

“Sheila Delia Subagjo, would u like to be my girl?” ia terkejut dengan perkataan dan kelakuanku. Wajahnya memerah disertai dengan seruan anak-anak dikelasku. “please be my girl” kataku memelas dan kupejamkan mataku. Suasana hening sejenak.

“yes, I do” seluruh siswa berteriak. Ku peluk Sheila dengan erat.

“thanks buat jawabannya.” Bisiku ditelinganya. Ditengah keramaian itu, aku tau terselip seorang wanita bernama Nayla. Dan sejak itu, kami tidak pernah salih bertegur sapa. Dan kudengar ia telah berpacaran dengan Henry, kekasih gelapnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar