Jumat, 25 Maret 2011

SANG SUPERSTAR


Bali, 15 february, 2010—Masih seperti hari-hari biasanya. Walaupun sebagian orang berfikir bahwa hari ini hari special buatku. Saat bell pintu berbunyi, iku tahu itu siapa. Kubukakan mereka pintu.

“happy birthday, Bryan!” teriak Nadine. Mereka pun berhamburan masuk kedalam rumahku. Membawa sebuah kue tart ukuran medium dengan lilin-lilin berjumblah 14 batang. Dan mereka terlihat bahagia.

“hey,,” celetuk Ivan yang melihatku bengong. “ayo donk ditiup,, udah pegel nih..” candanya. Aku hanya tersenyum meski terpaksa. Dan bersiap untuk meniup.

“Eh! Tunggu dulu.. main tiup aja…” ujar Lidya. “make a wish aja belum…” dilletakan kue itu dimeja makan.

“orang tua kamu kemana, yan?” Tanya Arta sambil menolehkan kepalanya kekanan dan kekiri.

“lagi nggak ada dirumah” jelasku.

“jadi kamu sendiri dirumah??” tambah Made. Aku hanya mengangguk.

“ya udah dong,,, make a wish.. terus tiup lilinnya..” ujar Lidya.

“ngapain sih pake acara kayak gini?? Kayak anak kecil aja..” protesku.

“nggak bisa dong.,. ultah tetep ultah… And itu harus dirayakan..” jawab Nadine.

“ya udah deh… make a wish…” ujar Lidya lagi-lagi. aku hanya bisa menurut. Aku sangat bosan dengan kehidupanku yang seperti ini. Hidup di Bali yang hanya itu-itu saja. Selalu sekolah dan belajar walaupun menurutku tak ada hibungannya dengan impianku.

Tuhan, jika kau menghendaki..

Aku mohon,

Percepatlah hidupku,,

Atau berilah warna dalam hidupku yang membosanan ini…

Ku buka mataku dan segera meniup ke-14 lilin itu . Sedikit susah karena terlalu banyak lilin namun setelah berusaha, semua api di pucuk lilin-lilin tersebut lenyap. Selajutnya kami berpesta ria—menyalakan lagu dance keras-keras dan mulai berloncat-loncat dengan riang. Menuangkan coke ke gelas-gelas kosong. Membagi kue-kue tersebut ke piring kertas yang telah disiapkan. Tak terasa waktu telah menunjukan pukul 10.00 pm. Dan salah satu tetangga menceramahi kami yang ribut dimalam hari selama satu jam. Membuat teman-teman ku pulang malam. Ku lihat di sekeliling ruangan, penuh dengan kaleng-kaleng minuman dan potongan-potongan kertas dimana-mana, dan ditambah dengan tumpahan kue disisi meja. Kulirik ke atas meja, kue itu masih tersisa seperempat bagian. Segera kumasukan kedalam kulkas. Aku tak tahan jika malam ini dihabiskan dengan membersihkan piring, gelas dan ruangan tersebut hingga bersih. Jadi kuputuskan untuk masuk kedalam kamarku. Kunyalakan i-podku dan kurebahkan tubuhku di ranjang. Aku masih berfikir, apakah doa ku akan terkabul. Aku pikir aku hanya sedikit pusing saat itu, membuatku mengatakan yang aneh-aneh kepada Tuhan.

“Sorry, Tuhan…” bisiku dalam angan. Mama dan Papa masih di Lombok untuk mengurus usahanya. Dan aku sadar bahwa dirumah ini aku sendiri. kucoba memejamkan mataku berkali-kali. Namun mataku masih ingin terbuka dan berdansa. Setelah pejaman ke 12, kesadaranku mulai sedikit lenyap dan lama-lama semuanya lenyap.

KRRRIIIING!! Suara alarm disisi tempat tidurku berbunyi keras memekakan telinga. Padahal seingatku aku tak mengatur alarm untuk hari ini. Kuraba-raba dengan mata setengah terbuka hingga aku dapat mematikannya.

Tunggu!

Ini bukan kamarku! Ini, entahlah, aku tak mengenal tempat ini.

Kuperhatikan disekelilingku. Ruangan ini luas dan rapi—lemari-lemari pakaian yang besar, gitar-keyboard di sudut ruangan. Dan ranjangku menjadi semakin lebar dan empuk. Aku berdiri dan mencoba menemukan jawaban. Aku melangkah menuju sebuah pintu dan kubuka. Ternyata toilet. Sangat luas untuk ukuran toilet bagiku. Dan didepanku berdiri sebuah kaca yang berukuran kurang lebih 2x8 meter. Bukan itu yang membuatku terkejut. Melainkan tubuhku. Tubuhku lebih besar dari kemarin. Dan wajahku terlihat lebih tua—oh tidak.. dewasa.

“Bryan?” terdengar suara wanita dari balik pintu. Aku berniat tak membukanya karena aku tahu ini bukan kamarku, dan bukan salah satu dari ruangan rumahku. Namun ketukannya semakin keras. Aku pun membukakannya.

“hey,” ketusnya

“hey ” balasku bingung.

“kenapa lama banget dibuka?”

“ya,,, saya.. oh tunggu! Apa benar saya Bryan?” wanita itu menatapku aneh. Ia terdiam melihatku dari atas kebawah, lalu ke atas lagi.

“lo minum berapa gelas kemarin??”

“maksud kamu”

“astaga Bryan, sekarang lo cepat mandi karena bentar lagi pesawat kita udah nunggu!!” Gerutunya sambil berjalan disepanjang lorong yang aku tak tahu akan menuju kemana.

“hah?! emang kita mau kemana??” tanyaku panic sambil terus mengejarnya yang berjalan semakin cepat.

“Come on Bryan,, SADAR!! Kita mau ke Thailand dan itu lo yang mau.. udah lah.. pesawat itu Cuma nunggu kita aja”

“Thailand?? Gila! Ke Jakarta aja belum pernah apalagi ke Thailand… buat apa??” langkahnya terhenti.

“buat liburan bryan… dan ini Jakarta, lo jangan mulai lagi deh..” ia menunduk kearah tangannya. “oh Bryan kita udah nggak ada waktu, sekarang lo bungkus barang-barang lo And kita pergi.. udah nggak ada waktu buat mandi” samara-samar aku tak mendengarnya lagi. mataku terpaku melihat kalender yang bertuliskan 16 february, 2020.

“BRYAN!!” bentaknya dan sebelum omelannya keluar dari bibirnya aku segera menghentikannya.

“Tunggu!” celetukku sambil mengangkat telunjukku tepat di depan wajahnya. Ia terlihat sangat terkejut dengan tingkah ku. “apa ini benar-benar 16 february 2020?? Apa bukannya 2010?? Ada yang ganti angka satunya!!”

“udah cukup Bryan.. ini memang tanggal enam belas bulan February tahun dua ribu dua puluh.. lo kemana aja?? Minuman lo dimasukin apa sama Lucy Sampe-sampe lo jadi amnesia kayak gini?” aku terdiam, tak dapat berfikir lagi. “oh God, pesawatnya udah terbang sekarang.. itu tandanya kita nggak jadi pergi sekarang.”

“kita memang nggak akan pergi ke Thailand… sekarang, maupun besok…” ujar ku.

Setelah segar dengan guyuran shower, kini aku mempunyai masalah dengan lemari-lemari besar ini. Bajuku begitu banyak dan aku tak dapat memilih satu dari sekian banyaknya. Belum sempat aku dapatkan pilihan, handphone ku berdering. Dan disana tertera nama David.

“Bryan?”

“ya?”

“udah nyampe di Thailand??”

“um, nggak saya nggak jadi ke Thailand.”

“Hah? gile! Seorang Bryan gitu.. bisa lepas dari planning-planningnya?”

“maksud kamu apa sih?”

“tunggu deh! Kayaknya lo bukan Bryan,, lo maling ya?! Lo curi Hp-nya Bryan ya?”

“ini Bryan.. oke, saya punya masalah disini.. saya minta kamu kerumah saya sekarang.” Segera ku ambil sembarang pakaian, mengenakannya dan keluar dari kamar.

Beberapa jam kemudian—“Lo nggak kenal gue siapa?” Tanya lelaki yang bernama David itu di ruang tamu.

“nggak,”

“dia juga nggak kenal gue!” celetuk wanita tadi. Rupanya dia masih disini.

“ok, saya juga nggak ngerti kenapa bisa begini. Kemarin, kemarin saya masih di Bali, dirumah saya dengan teman-teman saya merayakan ulang tahun saya” jawabku.

“Bryan, kemarin lo sama kita, di bar minum-minum buat ngerayain ulang tahun lo.. astaga, kayaknya lo kena azab, yan..,.”

“apaan sih! Saya nggak merasa kena azab… emangnya saya salah apa?”

“please! Jangan pake ‘saya kamu’ lagi.,.,. gue geli tahu nggak dengernya” bentak wanita itu.

“ya namanya juga anak umur 14 tahun dari Bali, Shant” canda David.

“astaga!” keluh Shanty sambul menutup wajahnya dengan kedua tangannya.

“tunggu,, saya punya bukti kok kalo saya masih 14 tahun, um.. baru 14 tahun maksudnya.”jelasku.

“udah deh, yan.. lo mending istirahat aja… lo kebanyakan minum kali.. sampe lo bisa lupa kayak gini…”

“nggak! Saya serius Vid, gue harus cari teman-teman saya untuk buktiin ke kalian.” Aku berlari menuju depan rumah. Membuka pintu sebuah mobil Mercy SL 550 hitam yang terparkir di garasi yang katanya milikku. Walaupun aku baru belajar menyetir mobil setahun yang lalu sewaktu umurku masih 13 tahun, kucoba untuk mengendalikan mobil ini sebisa mungkin. Namun, akhirnya aku kembali ke rumahku. David dan Shanty masih ada dan bengong melihatku.

“saya baru ingat ini Jakarta.. teman-teman saya ada di Bali ya?” mereka menarik nafas dalam-dalam lalu menghembuskannya.

“ini album-album lo” jelas Shanty saat kami berada di ruang keluarga.

“sebanyak ini?” tanyaku, memperjelas mataku bahwa aku tak salah menghitung.

“ya, 5 album, dan 9 single. Di album pertama lo buat lagu sendiri”

“open your mask? Lebih? Cinta Pertama?”

“ya buat ‘Lebih’ dan ‘cinta pertama’, tapi nggak buat ‘open your mask’. Lo nggak pernah nunjukin lagu itu ke gue?” Kata Shanty menjelaskan.

“oh bagus! Gue ada pemotretan jadi gue harus pergi sekarang.” Celetuk David

“ok, nggak apa-apa.” Jawabku.

“so, apa lagi yang saya lupain?” tanyaku ke Shanty saat David pergi.

“Bryan!” Shanty memegang kedua pundakku. Wajahnya serius. “gue minta tolong sama lo,, banget! Lo Cuma punya sisa cuti seminggu lagi. minggu depan lo manggung di IMA Awards. Satu yang gue minta, tolong pelajari semua lagu-lagu lo buat minggu depan, Karena itu penting banget buat masa depan lo.” Jelasnya. Cara bicaranya menjadi lebih halus daripada tadi pagi

“um, ya… ya saya usahain” jawab ku dengan anggukan seadanya.

“ya udah gue mau pulang dulu, ntar gue kesini lihat keadaan lo.” Jelasnya. Aku hanya mengangguk dan tersenyum melihatnya.

“dan satu lagi, tolong biasain ngomong pake ‘lo gue’… karena semua orang bisa curiga kalo lo bukan ‘Bryan The Superstar’.”

“ok!” Shanty pun berlalu. Kulihat kedua tanganku yang masih memegang lebih dari selusin CD yang masih terbungkus dan bersegel, pertanda aku tak pernah membukanya. Hanya album dan single pertama yang telah terbuka. Kucoba membuka yang kedua dan memasukannya kedalam player. Sambil memeriksa beberapa hal disudut rumah ini. Banyak hal yang tak kukenal disini. seperti novel-novel yang bertambah, jaket dan pakaian yang lebih modern dan gambar-gambarku di laptop. Tak terasa jam dinding telah menunjukan pukul 06.30 pm.

“hello?” terdengar suara Shanty menggema di luar kamarku.

“hey, gue disini” jawabku kaku. Ia membuka pintu kamar ku dan kepalanya muncul untuk menengok lalu memasukan seluruh tubuhnya kedalam kamar. Aku masih terduduk di depan meja untuk mengecek arsip-arsip yang mungkin dapat membantuku. ia tersenyum melihatku.

“akhirnya lo nurut sama gue” sindirnya.

“kan lo sendiri yang nyuruh.”

“iya iya… um, lagi ngapain?”

“lagi buka facebook yang lama… ini juga bisa jadi bukti”

“maksud lo?”

“ini dia!” seruku saat gambar profil ku terlihat. Tapi, ternyata gambarku telah berubah, menjadi lebih dewasa, mungkin saat aku SMA.

“apaan?”

“ini… kok muka gue berubah??”

“ini waktu lo SMA kale” jelasnya. Aku terdiam tak dapat berfikir.

“Jujur gue bingung..”

“udah lah.. nggak usah dipikirin dulu… mungkin lo butuh istirahat, dan siapa tahu besok lo udah bisa ingat semuanya” ujar Shanty. “gue bawa makanan buat lo, ada di meja makan. Sekarang gue mau pergi. Banyak hal yang harus gue siapun untuk minggu depan, apa lagi lo lagi lupa ingatan kayak gini.” Candanya.

“sorry banget ya? Gue udah buat lo repot” pintaku. Shanty pun berlalu. Dan aku segera mencari makanan yang dibawa Shanty. Setelah selesai menyantap makanan, aku kembali menuju kamar meneruskan pemikiranku. Namun tiba-tiba aku teringat sesuatu. Bukankah aku yang meminta agar aku dapat cepat melewati masa remaja yang membosankan? IYA!! Aku menemukan jawabannya. Ternyata Tuhan masih mencintaiku. Memang sulit dipercaya apa yang kini sedang terjadi. Tapi inilah yang terjadi. Aku mencoba menyalakan TV untuk melihat hal baru di tahun 2020. ternyata masih sama seperti yang dulu . hanya orang-orangnya yang berubah. Kumatikan dan kucoba mengelilingi ruangan yang ada dirumah ini satu-persatu. Inikah rumahku sekarang? Sangat luas dan bertingkat dan mempunyai beberapa kamar walaupun aku hanya tinggal sendiri. dan segala sesuatu di rumah ini sangat modern.

Hari kedua setelah terjadinya keanehan didiriku—aku menghubungi Shanty karena aku mengalami sebuah kebingungan dan aku perlu mengenal orang-orang terdekat ku kini.

“hi, Yan…” sambutnya sambil melemparkanku beberapa lembar kertas berisi tulisan-tulisan yang rinci dan tak jelas.

“apaan nih??”

“ternyata lo itu mengidap suatu penyakit yang membuat lo kehilangan setengah ingatan lo. Tolong bilang yang jujur, apa lo pernah terbentur atau jatuh, atau semacamnya?” jelasnya sambil mendekatkan wajahnya ke mataku.

“ng, nggak. Kan lo tahu sendiri gue itu nggak inget apa-apa. Karena gue masih umur 14 tahun, Shanty.”

“nah itu dia” shanty memegang pundakku dan menggoyahnya. “yang tersisa di ingatan lo itu Cuma memory waktu lo masih 14 tahun. Selanjutnya, lenyap!”

“udah lah Shant, gue udah tahu kok jawabannya”

“serius lo Yan!”

“iya, waktu itu ulang tahun gue yang ke-14. gue minta sama Tuhan supaya bisa mempercepat usia remaja gue.”

“wah lo tambah sinting, sob!”

“atau gue punya ide! Gimana kalo kita kedokter aja?”

“lo superstar, Bryan. Lo Artis. Lo nggak mau kan denger gossip ‘Bryan Febryanno kini mengidap gangguan jiwa dan karirnya hancur’.” Aku terdiam. Shanty terdiam.

“okey, jangan mikir terlalu jauh. Kita jalanin aja apa yang ada.” Kerutan diwajahnya bertambah saat kata-kataku berubah menjadi kalimat.

“berarti lo udah siap ketemu wartawan dan kerja dengan baik lagi?” aku tersenyum dan menatapnya tajam.

“Yup!”

Pagi di dalam mobil Shanty—ia datang kerumahku di pagi buta dan menyeretku agar mengikutinya.

“kita mau kemana sih?” Tanyaku ketus.

“gue ngajak lo ke tempat-tempat favorit lo. Ya… siapa tahu aja lo dapat kilasan-kilasan ingatan lo yang dulu”

“Shan, gue nggak apa-apa. Ini jawaban dari doa gue.” Tuturku.

“gue nggak peduli” potongnya “gue nggak peduli sama sekali sama ocehan lo yang nggak jelas itu. yang bisa gue lakuin buat memulihkan ingatan lo ya Cuma ini.” Jelasnya dan kami pun sampai pada tujuan.

“taman??!” tanyaku memperjelas. Ia membawaku ke taman yang sangat sepi!

“ya,, lo biasanya sering ke sini kalo lagi bad mood”

“tapi ini bukan gue banget!”

“ya,, bukan lo banget, diwaktu lo masih berumur 14 tahun dan masih tinggal di Bali ini bukan lo banget.”

“maksud lo?”

“udahah.. udah nggak penting buat lo” ia beralih dan mengambil ancang-ancang untuk duduk di sebuah kursi.

“tentu itu penting buat gue.” Aku menyusulnya dan duduk disampingnya. “lo tahu kan, apa yang lagi terjadi? Lo tahu kan shant?”

“ya, ya,, gue tahu!” potongnya. Sunyi sejenak. “gue masih inget, gimana polosnya saat lo baru datang ke Jakarta untuk peluncuran album pertama lo” ia duduk di sisi kursi yang ada ditaman. “lo sangat sopan, ya,, seperti sekarang. Gue kagum sama lo, karena lo udah bisa merebut hati ratusan orang hanya dengan bermodal lagu. Tapi setelah karir lo naik..” wajahnya menatapku. “lo udah berubah, lo nggak kayak Bryan yang dulu, lo sombong dan lo nggak pernah menghargai pemberian orang. Dan lo tahu sekarang? Penggemar lo berkurang. Seharusnya tanggal 16 february selalu bertebaran hadiah dan bunga didepan pintu lo. Tapi lo lihat kan kemarin? Nggak ada satu pun. Gue harap lo bisa ngerubah itu.” aku terkejut dengan perkataannya dan duduk disampingnya. Suasana kembali sepi untuk beberapa saat. Hanya ada tiupan angin dimusim dingin yang semakin membekukan hatiku.

“makan yuk! Gue laper..” celetuk Shanty. Aku menghela nafas dalam-dalam.

“yuk”

Café—kami mendatangi sebuah café yang menurut Shanty sering kudatangi.

“siang, Mas” sapa seorang pegawai. Sepertinya aku sangat akrab dengan sebagian pegawai disini. kami duduk dimeja paling pojok dan memesan makanan. Tampak beberapa orang menatapku seakan-akan buronan langka.

“Kak, bisa minta foto nggak?” seorang bocah perempuan mendatangiku dan menatapku polos. Aku tersenyum, dan aku melihat kearah Shanty. Shanty menganggukan kepalanya.

“pasti donk cantik,,” jawabku ramah. Ibunya hanya tersenyum melihat anaknya sepolos itu. sambil menggendong anak itu, kami dipotret oleh ayahnya.

“makasih ya Bryan.” ucap Ibu bocah itu ramah.

“iya.. sama-sama” jawabku tersenyum. Makanan pun datang. setelah kenyang. Baru Shanty membuka mulutnya.

“jujur, baru pertama kali ini gue liat lo bisa seramah itu sama anak-anak.” Tuturnya, lalu meneguk minumannya.

“seburuk itukah gue” aku tertawa.

“ya, lo beda banget sama Bryan yang dulu. Dan gue pikir, gue lebih suka Bryan yang sekarang”

“okey..” celetuku. “berarti gue udah lulus menjadi ‘Bryan The Superstar’?”

Ia hanya tersenyum mendengar ocehan gilaku.

Dirumah ku—aku telah bersiap untuk wawancara pertama album terbaruku. Masih tersimpan didalam hati, sanggupkah kujalani hidup baru ini? Hidup yang aku impi-impikan sejak dulu. Beberapa menit kemudian, Shanty datang dan kami segera meluncur ke sebuah café yang biasa kami gunakan untuk wawancara.

“lo siap?” Tanya Shanty tak yakin. Ku lihat wajahnya, dan nafasku seakan berhenti hanya untuk mengatakan..

“iya, gue siap!” tegasku. Kamu segera menghampiri ketiga pewawancara tersebut.

“halo.. sorry telat ya?” sapa ku yang disambut dengan senyuman ramah ketiga orang tersebut.

“nggak kok, kita baru aja datang” dusta mereka. Wawancara pun dimulai. Memang ada sedikit rasa canggung diwajahku, hingga seorang pewawancara menegurku.

“mukanya biasa aja mas, nggak usah tegang”

Shanty menyenggolku. Aku mengangguk.

“ya, jadi album kedua saya sih bulan depan udah keluar, berisi dua belas lagu, bla bla bla bla……

Sejak itu hari-hariku kini penuh dengan pekerjaan. Walau terasa letih, tapi inilah yang kuinginkan sejak dulu. Masuk kedalam gemerlapnya dunia hiburan, dan mengenal beberapa artis papan atas lainnya. Aku bahagia hidup dalam dunia ini. Namun hatiku mengatakan ada yang kurang dalam hidupku. Hingga akhirnya seminggu sebelum peluncuran album keenamku. Aku mengajak Shanty untuk berunding.

“ada apa sih pake berunding segala?? Kalo mau ngomong ya ngomong aja.. nggak perlu pake sembunyi-sembunyi kayak gini.”

“besok gue mau pulang, Shant” tuturku.

“apa? Pulang?? mana bisa lo pulang sedangkan seminggu lagi lo ngeluncurin album!”

“please, Shant.. gue pengen ketemu orang tua gue.. gue pengen di album kedua ini gue dapat restu dari orang tua gue!!” kami terdiam selama beberapa menit. Ia menatap ku tajam.

“oke, tiga hari” suasana kembali sunyi.

“thanks Shant” aku tersenyum padanya.

Pagi yang dingin di Bandara Soekarno Hatta—aku dan kedua koperku telah siap menuju tanah kelahiranku. Shanty memeluku.

“lo baik-baik ya disana.” Ujarnya. Aku tersenyum dan menatapnya.

“apa lo bener-bener nggak bisa ikut?”

“seperti yg gue bilang kemarin, launching album lo tinggal ngitung hari aja.. jadi gue harus ngatur semuanya” jelasnya.

“thanks banget ya Shant.” Aku memeluknya kembali.

Oke. Saatnya melupakan Jakarta. Setiba di Bali, aku segera menuju rumahku yang dulu.

Tok tok tok!

Kucoba mengetuk pintu beberapa kali.

Mungkin mereka pergi..

tapi aku ingat tempat mereka menyembunyikan kunci rumah saat kami bepergian dulu. Akhirnya aku dapat membuka pintu.

Jreeeeng!

Aroma rumah itu mengingatkan masa kecilku. Dimana aku dimanja dan dirawat. Dimana tempat kutumpahkan kekesalanku. Semua terlihat hampir sama seperti saat aku berumur 14 tahun. Sofa sofa itu masih halus terawat oleh ibuku. Samar-samar ku dengar suara gonggongan anjing di ruangan yang lebih dalam. Ternyata Browny, anjing kecil teman bermainku sejak kecil. Kini ia lebih besar dan sudah tak mengenalku.

“hai Browny,, ini saya, Bryan.” terangku, mencoba berbicara padanya. Namun ia tetap menggonggong seperti melihat setan. Aku beralih ke pintu kaca yang tertutup rapat. Yang merupakan halaman belakang rumahku. Disana telah tertanam berbagai bibit bunga yang pasti ditanam ibuku. Dan terlihat kolam ikan yang lumayan lebar dan dangkal dipinggir dinding. Pastinya ikan koi ayahku. Aku tersenyum sendiri. aku berlari menuju kamarku. Kamar itu sangat rapi. Disana masih ada beberapa mainanku, Buku-buku pelajaranku, CD2 lagu penyanyi pujaanku dan masih banyak lagi. aku duduk dipinggir ranjang. Tepat dihadapan meja belajarku. Mataku tertuju pada sebuah fotoku dan orang tuaku. Aku mengambilnya, dan disana tertulis,

“we miss u so much, son. Kapan kamu akan pulang?”

Aku tersentuh. Aku mencoba untuk menahan air mataku yang ingin tumpah.

Apakah aku sebegitu jahatnya? Sampai-sampai aku melupakan keluargaku sendiri??

Tak lama kemudian pintu kamar terbuka lebar. Ibuku, kini rambutnya putih dan wajahnya keriput dimakan usia. Namun tak memakan kecantikannya. Sedangkan ayahku tetap tegap dengan kemejanya. Ia membawa sebilah kayu. Mungkin ia mengira ada pencuri, karena aku lupa menutup pintu kembali. Mereka terdiam karena terkejut melihat bahwa itu adalah aku. Aku menghampiri ibuku dan memeluknya. Ada sesuatu yang membuatku meneteskan air mata dipelukannya yang erat. Ada sesuatu kerinduan begitu hebat merasukiku.

“maaf ya ma, saya nggak pernah jenguk mama” tuturku. Ibuku hanya mengangguk disela isak tangisnya.

“iya nggak apa-apa.. tapi sekarang kamu ada disini kan? Mama rindu kamu, sayang.”

Ia kembali memelukku. Dalam peluknya kulihat ayahku tersenyum melihatku.

“pa..” aku beralih memeluk ayahku. “maafin saya, pa.” ayahku mengelus pundakku dan memegang kedua pundakku.

“papa pikir kamu udah jadi bad boy di Jakarta. Tapi bagi kami, kamu tetap jadi good boy dibali.” Ujar ayahku. Memang sedikit lucu. Tapi aku yakin makna dari kata itu sangat dalam dilubuk hatinya. Mengapa aku seperti merasakan kerinduan yang begitu dalam pada mereka? Kami duduk dimeja makan. Dan ibuku menyiapkan makanan. Makanan kesukaanku. Aku kembali meneteskan air mata. Entah mengapa.

“hey.. jangan nangis terus donk. Cowok kok nangis sih” sindir ibuku. Kami makan bersama dirumah lama yang penuh kenangan itu. seharian aku menceritakan apa yang telah aku alami di Jakarta. Dan mereka menceritakan apa yang terjadi selama aku pergi. Hidupku kini telah berarti. Tapi masih ada sedikit kekurangan dalam hatiku. Sahabat-sahabat lamaku.

Hari kedua—aku menemui Nadine dirumahnya. Ada sedikit senyuman di ujung bibirnya. Namun segera dihalangi oleh tatapan kejamnya. Ia tak berbicara sedikitpun, dan berniat menutupkanku pintu.

“hey..” aku mencegahnya. “kamu kenapa nggak mau ketemu saya?” tanyaku memelas. “saya rindu kamu, saya rindu sama sahabat-sahabat yang lainnya”

“masa?? tapi kenapa ya? Waktu saya ke Jakarta dan nyari kamu, kamu malah pura-pura nggak kenal?”

“hah? saya nggak ngerti apa yang kamu omongin?”

“oh tentu! Karena kamu bukan Bryan yang saya kenal lagi!!” ia menutup pintu dengan keras. Satu persatu kutemui teman-temanku. Tapi kata-kata mereka sama seperti yang diberikan oleh Nadine kepadaku.

“kamu bukan Bryan yang saya kenal” hingga hari ketiga, ku SMS Ivan. Syukurlah, Ivan mau bertemu denganku. Kamu bertemu disebuah café.

“sejak kita SMA, kita nggak pernah berhubungan lagi. kamu dengan sekolahmu, dan kami dengan sekolah kami.” Jelas Ivan.

“apa, apa yang terjadi setelah ulang tahun saya yang ke-14?”

“nggak terjadi apa-apa, kita masih berteman seperti biasanya, tapi setelah SMA kita semua pisah.”

“saya bingung kenapa semua bilang, saya bukan Bryan yang mereka kenal dulu?” Ivan tertawa.

“ya, kamu bukan Bryan yang mereka kenal dulu.. Bryan yang sekarang adalah Bryan yang hebat, Bryan yang bisa meraih impiannya, sekaligus juga Bryan yang buruk, Bryan yang sombong.” Tuturnya. Aku terdiam dan sedikit mengerti. Aku meletakan kedua telapak tanganku dimeja. Kudekatkan wajahku ke wajahnya.

“cepat bilang, apa yang terjadi selama saya di Jakarta.”

“kamu kenapa sih, Yan? Kamu lupa semuanya?” ia meminum colanya, dan melanjutkan kata-katanya. “kamu sekarang sombong. Kamu nggak pernah sekalipun kembali ke Bali setelah nama kamu tenar. Kamu selalu mencampakan penggemar-penggemarmu. Dan satu yang nggak akan kami lupakan. Adalah dimana disaat kamu pura-pura lupa dengan kami semua. Ya.. boleh dibilang manta sahabatmu.” Aku terdiam.

Separah dan se-menyedihkan itukah hidupku sekarang?

“maaf, Van” kalo saya punya banyak kesalahan ke kalian. Sumpah! Saya nggak nyadar ternyata kehidupan saya disana buruk banget.” Ivan tersenyum

“iya, sy maafin kamu. Tapi belum tentu yang lainnya bisa memaafkan kamu.”

Sekian pertemuanku dengan Ivan. Hari dimana aku harus kembali ke Jakarta pun akhirnya datang. pagi sebelum jam keberangkatanku. Aku mengunjungi Nadine. Kuselipkan foto kami di bawah pintu rumahnya. Dibelakang foto itu, kutuliskan sesuatu,

“saya mungkin lupa dengan semuanya. Tapi saya nggak akan pernah lupa dengan foto ini, foto kamu dan saya. Maaf saya udah nyakitin kamu. Maaf saya udah menyembunyikan hubungan ini sekian lama.”

Iya, kami memang berpacaran. Tanpa sepengetahuan sahabat-sahabat kami. Kami mencoba menyembunyikannya karena Arta juga menyukai Nadine. Kami tak mau persahabatan kami pecah. Dan kami memutuskan untuk memendam semuanya.

Bandara Ngurah Rai, Bali—bersama ayah dan ibuku, aku berjalan menuju pengambilan tiket.

“saya mau mama dan papa nonton lauching album saya 4 hari lagi. Saya akan beri kursi VIP untuk kalian.” Mereka tersenyum bahagia. Kembali mama memeluku. Berkali-kali ku arahkan kepala ku kearah jalan masuk bandara, tapi sosok Nadine tetap tak ada. Tak lama kemudian, pesawatku mendarat dan aku meninggalkan Bali. sesampainya di Jakarta, kegiatan menantiku. Latihan demi latihan kujalani. Dan hari H pun tiba. Aku berdiri diatas panggung. Inilah pertama kalinya ku pijakan kakiku di panggung mewah ini. Semua tata lampu dan by ground panggung. Semua begitu megah. Kuihat ayah dan ibuku begitu bahagia melihatku di atas panggung. Kulihat disana Ivan, namun tidak bersama yang lainnya. Ia bersama istri dan anaknya, rela jauh-jauh ke Jakarta hanya untuk menonton peluncuran albumku. Ia mengangkat jempolnya ke arahku. Dan kubalas dengan senyuman. Entah berapa lagu telah kulantunkan. Tapi Nadine tak kunjung datang. satu-satunya orang yang kuinginkan hadir di acara besarku ini. Hingga akhirnya acara berakhir dengan meriah. Diluar, penggemar-penggemarku telah berkumpul. Dan kusambut dengan senyuman hangat. Beberapa ada yang menginginkan tanda tangan. dengan senang hati kulayani. Dari beberapa kertas, ada satu yang terasa sangat dekat dihatiku. Dan saat kulihat dan kubalik, ternyata fotoku bersama Nadine. Kulihat tangan yang ku pegang. Dan ternyata adalah tangan Nadine. Iya tersenyum malu kepadaku.

“kali ini saya nggak akan pernah lupain kamu.” Ujarku. Aku memeluknya erat. Tak peduli beberapa teriakan penggemar dan infotainment yang menyorot kami. Dan disaat itulah aku mengumumkan bahwa Nadine, seorang gadis Bali biasa adalah kekasihku, seorang yang mungkin sebagian besar orang mengatakan tak biasa. Shanty menghampiriku.

“selamat” iya tersenyum dan menawarkan tangannya.

“thanks Shant.” Aku menyambut tangannya. Kamipun berpisah. Nadine bersama keluarga Ivan, pulang ke hotelnya. Dan aku pergi menuju panggung lain. Diperjalanan, karena sedikit terlambat, sopirpun mempercepat laju mobil. Dan tanpa kuketahui sebabnya. Kami menabrak sebuah truk. Mobil kami terguling, dan aku tak sadarkan diri.

Sinar mentari menyilaukan mataku. Aku melihat disekelilingku. Apa aku masih di Bali? ternyara aku kembali ke umurku yang ke-14 tahun. tak lama kemudian terdengar teriakan ibuku menggelegar.

“ada apa ini?!” semakin lama suara itu semakin mendekat. Dan saat ia muncul. Aku langsung memeluknya. Kucium pipinya.

“hey.. kamu kenapa? Tumben manja kayak gini??” Tanya ibuku terkejut.

“saya sayang sama mama..” ibuku yang tadinya geram akan tingkahku yang membuat rumah menjadi kapal pecah menjadi luluh. Ia balas memeluku.

“mama juga sayang kamu. Happy Birthday ya sayang.”

THE END

CINTA HARUS MEMILIH


Aku terduduk tak berdaya disebuah kursi taman disekolahku. Sudah tiga hari ini ia hanya membicarakan anak yang hadir secara tiba-tiba di kehidupan kami. Dan ia tak pernah memikirkan perasaanku, kekasihnya, saat ia berbicara tentang lelaki itu. Ia selalu mengumbar-umbarkan semua kelebihan lelaki itu didepanku. Apa ia lupa bahwa aku adalah kekasihnya?

“hey..” terdengar suara seorang wanita dibelakangku. “udahlah.. paling Nayla Cuma becanda.” Ujarnya menenangkanku.

“ya nggak bisa gitu donk Sheil, se-enggaknya dia bisa jaga perasaan gue!” bentakku.

“yaa.. mungkin dya nggak sengaja nyakitin hati lo” tambahnya sambil duduk disampingku. “udahlah.. lo tau sendiri kan, sifatnya si Nayla kayak gimana?” aku terdiam. Selama beberapa menit Sheila masih menatapku, lalu tertunduk.

“apa sih kelebihannya cowok itu?” celetukku ditengah kesunyian.

“gue juga nggak bisa ngomong Dit, emang sih dia cakep. Tapi selera orang kan beda-beda.”

“Menurut lo?”

“menurut gue? Dia biasa aja. Ah masih gantengan lo kok! Yuk masuk kelas. Udah nggak usah dipikirin lagi.” Rayunya.

“males gue.” Jawabku singkat.

“Yaelah… oke, gue tau lo marah, dan Nayla emang salah. tapi apa lo mau terus-terusan begini sama dia?”

“gue akan terus cuek! Sampe dia tau, gue lebih pantas ada disampingnya dibanding cowok tengik itu!” ujarku lantang.

“ok ok! Radit come back! Haha.. udah bell nih, guru udah masuk dari tadi.”

Aku, Sheila, dan Nayla memang sudah bersahabat sejak dulu. Dan setelah beberapa lama waktu berlalu. Aku dan Nayla berpacaran. Kami selalu bersama kemanapun kita pergi. Dan gara-gara lelaki itu. Semua impianku menjadi hancur. Selama pelajaran berlangsung, tak satupun materi masuk keotakku dan tak sedikitpun mataku menatap wajah Nayla. Namun suara tawa yang tiba-tiba keluar dari bibirnya membuatku muak. Ia memang seorang wanita yang cuek. Dan karena itulah aku memilihnya. Bukan karena kecantikannya ataupun kekayaannya. Namun entah mengapa ada sesuatu yang berbeda disaat ku menatap matanya. Ada sesuatu yang membuatku selalu mengalah dan selalu mengikuti kemauannya. Tapi TIDAK untuk hari ini. Keputusanku sudah bulat. Mungkin hari ini adalah hari terakhirnya dihatiku.

“Nayla!” seruku saat berada didepan gerbang sekolah. Ia terkejut mendengarku memanggilnya. Ia segera berbalik kearahku.

“kenapa?”

“ada hal penting yang mau aku omongin.” Jelasku. “mungkin…” belum sempat seluruh kata-kataku menjelma ditelinganya, seorang wanita langsung mendekap mulutku.

“Hey, Nayla! Lo pulang aja duluan. Gue mau ngomong penting sama nih cowok.” Ujar Nayla. Dengan senyum yang membuatku jatuh cinta padanya, ia pun berlalu

“mau lo apa?!” teriaku di koridor sekolah. Saat itu hampir seluruh siswa telah keluar dari sekolah.

“lo gila ya! Lo mau bilang putus kan sama Nayla?” bentaknya kearah wajahku.

“terus mau gimana lagi? Apa gue harus selalu jadi budaknya dia? Selalu dengerin cerita-cerita tentang cowok itu dari mulutnya?”

“Hey sadar! Lo nggak harus putus! Apa lo mau kalah sama tuh cowok?! Don’t be a chicken!!”

“terserah! Terserah!!” aku segera meninggalkannya di koridor-koridor sepi sepanjang kelas.

Hari kedua setelah pertengkaran hebatku dengan Nayla—pagi yang cerah menjadi berawan saat kulihat Nayla sedang asyik berbicara dengan lelaki itu.

“ehem,” celetukku ditengah-tengah gelak tawa mereka. Mereka berdua tersenyum padaku. Bibirku sudah bergetar ingin menyumpahi lelaki itu. Namun lagi-lagi…

“Hai,, Henry! Gue cari lo kemana-mana. Ada yang mau gue omongin nih!” teriak Sheila. Ia menarik lelaki itu menjauh dari ku dan Nayla. Nayla merengkuh lenganku. Entah apa yang ada dalam benakku sehingga aku tersenyum menatapnya. Dan saat itu kami berbaikan.

“Gue peringatkan ya sama lo, gue pacarnya Nayla! Jadi jangan pernah lo sentuh dia lagi didepan ataupun dibelakang gue..!” bentakku saat berada di kantin. Ia berdiri dari duduknya.

“Kalo gue nggak mau, lo bisa apa?” kesabaranku telah habis. Tak kusangka lelaki yang selalu dipuji oleh kekasihku berkelakuan seperti ini. Segera bogem mentahku mendarat di wajahnya. Ia tersungkur ke arah meja kantin.

“itu yang lo dapet!” aku meninggalkannya setelah semua murid menonton acara live itu. Sore hari dirumahku—handphone ku berdering kencang. Dan saat kulihat, ternyata Nayla.

“halo?”

“kamu apain Henry?”

“oh.. dia ngadu sama kamu? Jadi cowok yang kamu puji-puji sepanjang hari itu kayak gitu?” ketusku

“kamu kenapa sih? Henry itu teman aku! Cuma teman!”

“ya ya ya.. aku tau kok setiap cewek pasti bilang kayak gitu ke pacarnya. Tapi apa orang lain tau? Hah??!”

“Udah Dit! Ternyata kamu nggak bisa ngertiin aku! Aku nggak mau cari ribut!!”

“hah? Justru kamu yang nggak bisa ngertiin perasaanku!” sambungan diputuskan.

“DAMN!!” teriakku didalam kamar. Setelah kejadian itu, kami tidak saling bertegur sapa selama beberapa minggu. Ia selalu bersama Henry, meninggalkan kekasih dan sahabatnya. Sampai akhirnya aku memilih untuk mencari jalan pintas. Ku ajak salah satu wanita disekolahku untuk berkencan. Sangat berbeda dengan kencanku bersama Nayla yang penuh dengan gelak tawa. Lalu tiba-tiba Sheila muncul ditengah-tengah kencan gelapku.

“Oh.. jadi gitu!” aku tak dapat berkata-kata. Aku hanya dapat berbisik kearahnya namun ditampiknya.

“ada apa ya?” tanya teman kencanku.

“gue pacarnya Radit! Lo mau apa? Hah?!” jawab Sheila dengan semangat. Wanita itu melihat kearahku.

Plak!

Sebuah tamparan keras mendarat di pipi ku. Ia pun berlalu.

“nggak gitu caranya Dit!”

“lo liat sendiri kan dia makin deket aja sama Henry?”

“tapi nggak gini caranya!”

“gue tau yang terbaik itu putus.”

“lo nggak harus kalah sama cowok itu!!”

“lo nggak tau perasaan gue Sheil! Lo nggak tau!”

“gue tau! Gue pernah ngerasain sama seperti yang lo rasain! Dan saat itu gue jadi chicken yang nggak berdaya didepan kedua orang itu!!”

“dan seharusnya lo tahu perasaan gue!”

“Gue tau!! Dan gue nggak mau nasib lo sama kayak gue! Dan asal lo tau gue nggak pernah mau kalian putus, karena kalian sahabat gue! Oke gue tau Nayla emang salah! tapi apa lo mau ikut-ikutan salah?” aku terdiam ditengah caci makinya.

“terus gue harus gimana?”

“lo ikutin alur ceritanya! Lo liat sampe kapan mereka bisa kayak gitu.” Aku berfikir sejenak.

“huft.. oke.. gue salah., dan karena lo udah ngancurin kencan gue, lo harus temenan gue jalan”

“Radit..!”

“come on.. masih jam 08.00 malem kok.. kita jalan-jalan satu jam aja, terus gue anter lo pulang.” Sheila tersenyum dan mengangguk.

“oke deh.. kalo itu bisa buat sahabat gue yang lagi stres ini senang.”rayunya. kamipun tertawa. Hari-hari kulewati tanpa Nayla, dan yang selalu disampingku kini hanya Sheila. Entah mengapa muncul rasa yang aneh menurutku setelah kencan jadi-jadian kami 4 hari yang lalu. Ada sesuatu yang berbeda darinya yang tak kutemukan saat masih bersama Nayla. Kulihat kearah kiri. Jauh dari pandanganku, Nayla dan Henry sedang asyik membaca sebuah buku. Dan entah mengapa rasa cemburu yang membara itu lenyap walaupun masih ada sedikit rasa kesal dihatiku.

“udah jangan diliat terus.” Celetuk Sheila yang tiba-tiba ada disampingku. “ntar ngamuk sendiri lho!” ujarnya disela-sela suara tawanya. Aku hanya tersenyum melihat senyum manis yang terpancar di wajahnya. Aku masih takut mengartikan ini sebuah cinta. Dan aku masih menganggak ini adalah sebuah mimpi. Sahabatku yang telah lama kukenal, menjadi orang yang kusukai? Masih terasa aneh bagiku. Hingga hari ke hari, perasaan itu kian menjadi. Dan aku pun merasakan sinyal darinya. Akhirnya kucoba untuk mengatakan cinta padanya. Tapi dengan setengah hati ia menolaknya.

“lo jangan gila Dit!”

“gue nggak gila! Gue nggak bisa bohongin perasaan yang lahir secara tiba-tiba ini!!”

“tapi lo masih punya Nayla! Sahabat gue!” matanya mulai berkaca-kaca.

“Nayla? Apa dia masih inget gue? Dia udah lupa kalo kita pacaran. Dia Cuma inget muka si Henry itu aja!” air mata berlinang di pipinya. “kenapa lo nangis?” tangisnya semakin menjadi. Aku tak kuasa melihatnya. Ia mencoba untuk berbicara.

“lo nggak tau betapa sakit hatinya waktu gue tau kalian pacaran.” Aku terkejut dan menoleh kearahnya. “gue coba menerima semuanya. Gue coba untuk mengalah dengan sahabat gue!”

“maksud lo apa?” tanyaku penasaran.

“waktu pertama kita ketemu, gue udah suka sama lo! Dan akhirnya kita bertiga bersahabat, tapi apa daya, saat Nayla bilang kalo dia suka sama lo, gue Cuma bisa menyimpan perasaan ini! Karena gue tau, segala sesuatu yang dia miliki lebih dari yang gue punya! Dan akhirnya lo milih dia!!” tanganku memegang pundaknya. “sakit Dit! Sakit! Saat lo nembak dia didepan mata kepala gue. Dengan setangkai bunga dan lo pegang tangannya, Itu adalah mimpi gue! Dan Nayla merebut semuanya!!” aku memeluknya erat.

“maafin gue Sheil! Gue nggak tau kalo sebenarnya semua kayak gini! Maafin gue kalo gue lebih memilih Nayla sebelum lo!” tangannya ikut memeluku.

“seandainya semua nggak serumit ini..” sekian pembicaraanku dengan Sheila malam itu.

Pagi yang cerah—aku melihat kelas sudah lumayan ramai saat itu. Dan tentunya sudah ada Sheila disana. Aku melangkah kearahnya. Aku bersujud dihadapanya. Ku genggam tangannya. Dan kuberikan setangkai bunga padanya.

“Sheila Delia Subagjo, would u like to be my girl?” ia terkejut dengan perkataan dan kelakuanku. Wajahnya memerah disertai dengan seruan anak-anak dikelasku. “please be my girl” kataku memelas dan kupejamkan mataku. Suasana hening sejenak.

“yes, I do” seluruh siswa berteriak. Ku peluk Sheila dengan erat.

“thanks buat jawabannya.” Bisiku ditelinganya. Ditengah keramaian itu, aku tau terselip seorang wanita bernama Nayla. Dan sejak itu, kami tidak pernah salih bertegur sapa. Dan kudengar ia telah berpacaran dengan Henry, kekasih gelapnya.