Selasa, 28 Juni 2011

First and Forever


Normal 0 false false false EN-US X-NONE X-NONE

Jam menunjukan pukul 06.00. pemandangan sunset yang sangat romantis di pinggir pantai. Aku berdiri tegap di pinggir pantai. Mengenakan pakaian serba putih. Sebuah meja makan dan dua kursi berdiri kaku tepat didepan pemandangan sunset. Hari mulai redup. Sosok wanita berpakaian serba putih mendekat saat aku menoleh. Nadine tersenyum padaku.

“Hai..” sambutnya

“Hai Nona..” aku membalas senyumnya. Ku persilahkan kursi untuknya. Ternyata ia tau waktu yang pas untuk datang. Sore ini terasa sangat indah. Langit mulai berwarna biru keunguan. Namun sang mentari masih memberikan sinar merah. Kami duduk berhadapan. Aku sengaja memilih tempat dipinggir pantai. Tentu saja agar dapat menikmati sunset berdua dengannya. Kamipun menyantap hidangan sore itu.

Happy first anniversary babe.” aku berikan sebuah cincin untuknya. Ia terkejut dan tersenyum lagi.

“makasi sayang, nggak terasa hubungan kita udah setahun.” Jawabnya.

“banyak banget yang udah kita lalui.” Aku melanjutkan.

“sedih ataupun senang.. semua udah kita lewati”

“kamu masih inget kan, waktu kamu ngambek gara-gara mobilku mogok? Kamu nggak mau ngomong sama aku seharian. Sampai akhirnya aku nginep didepan rumah kamu dan kamu maafin aku.” Ia tertawa mendengar pertanyaanku.

“ya abisnya kamu.. udah tau itu hari senin, kita kan jadi dihukum gara-gara telat buat upacara.”

“tapi dihukumnya berdua kan?” godaku. Kamipun tertawa.

“kamu juga masih inget kan waktu kamu marah sama aku karena aku pernah ngomongin cowok lain sama temen-teman aku? Waktu itu kamu marah banget. Sampe-sampe cowok itu kamu pukul. Padahal aku kan Cuma becanda.” Ia tertawa.

“Henry maksud kamu? Iya iya.. aku Cuma mau buktiin kalo aku nggak mau kamu direbut sama cowok lain.” Jawabku dengan wajah dibuat-buat. Kami tertawa lagi. Malam yang dingin terasa hangat bersamanya. Setelah puas mengingat masa lalu, kami berjalan menyusuri pantai dan sedikit bermain ombak.

“kamu tau nggak betapa besar cintaku buat kamu, aku nggak mau kehilangan kamu.” Celetukku saat kami menyaksikan matahari yang akhirnya tenggalam dengan sempurna. Malam pun dating berhiaskan bintang.

“tentu aku tau, aku juga nggak mau kehilangan kamu. Aku mau hubungan kita bisa lebih baik lagi.” Ia menatapku. Aku memeluknya seakan tak ingin melepasnya malam ini. Jam tanganku menunjukan pukul 08.21 malam. Dan kami memutuskan untuk pulang. aku mengantarnya pulang.

love you babe..” aku menatapnya yang mulai membuka pintu mobil.

love you too, makasi buat semuanya sayang.” Matanya berbinar. Seakan sangat bahagia hari ini. Iya beranjak dari duduknya dan segera melangkah menuju gerbang rumahnya. Sesekali menoleh kearahku dan melambaikan tangan. Aku tersenyum sendiri. Akupun bahagia hari ini. Pertama kalinya aku dapat mempertahankan hubunganku selama satu tahun. Dan semuanya terasa menyenangkan. Aku tak akan pernah bisa lepas darinya.

Pukul 09.23 malam—aku sampai dirumahku.

hei boy.. gimana dinnernya?” Tanya Anne, kakak perempuanku. Ia berjalan menuju ruang makan.

“Perfect!” aku mengikutinya. “ Thanks ya kak, udah bantu aku pilih tempat yang bagus”

“okey okey! Siapa dulu kakakmu” ujarnya sambil mengambil sebuah pudding di dalam kulkas.

“waaaah.. ada yang lagi senang nih..” goda kakak laki-lakiku, Joe. “gimana tadi? Udah dapet kissing-kissing?

“Hush… Jangan ngajarin yang aneh-aneh deh..” jawab Kak Anne yang langsung disambut dengan wajah cemberut Kak Joe. Aku hanya tertawa kecil. Begitulah mereka. Selalu ada kekacauan setiap hari. Tak lama kemudian Kakak keduaku, Ray datang dan tanpa basa-basi segera masuk kedalam kamarnya. Ya aku mengerti ia pasti lelah dengan pekerjaannya. Setelah lulus SMA ia tak melanjutkan sekolahnya, melainkan membuka sebuah bengkel yang kini telah menjadi bengkel besar dan selalu ramai. Kak Anne, adalah kakak tertua di keluargaku. Ia membuka sebuah Café yang sama suksesnya dengan Kak Ray. Sedangkan Kakak ketiga ku, Kak Joe masih meneruskan kuliahnya dan bekerja sambilan sebagai penyiar radio. Orang tua ku masih berada di luar kota. Jadi rumah ini dikuasai oleh kami berempat.

Malam berganti menjadi pagi. Aku dan Kak Joe sudah duduk di depan meja makan. Sedangkan Kak Anne sebagai koki ahli kami membawakan 4 piring nasi goreng ke meja makan.

“Kak Ray mana?” tanyaku.

“mungkin belum bangun, biasalah.. bengkelnya lagi rame.” Jawab Kak Anne sambil menyusul kami duduk. Setelah sarapan, aku segera menjemput Nadine dan menuju sekolahku. Aku masuk ke kelasku. Dan kami terkejut. Di papan tulis penuh dengan tanda tangan para siswa dan ditengahnya tertulis dengan besar:

“HAPPY FIRST ANNIVERSARY RANGGA AND NADINE!”

Seluruh siswa bersorak dan menghampiri kami untuk memberikan selamat. Bell istirahat berbunyi—aku dan Nadine berjalan menghampiri teman-temanku yang lain.

“cie-cie yang setahun jadian” Goda Dewi.

“Iya nih mana nih pajaknya??” Putra melanjutkan. Sedangkan Lidya dan Radit hanya tertawa melihat kami yang kian lengket.

“jiaa.. lo mah pajak doank yang diinget. Kalian donk yang kasi hadiah. Ya nggak yang?” jawabku sekenanya.

“Okey.. Gimana kalo ntar siang kita bakar barbeque di rumah gue?” ajak Nadine.

“Oke gue setuju!” jawab mereka serempak. Semua pelajaran selesai, dan bell pulang mulai berbunyi. Aku selalu menggenggam tangan Nadine. Untuk meyakinkan bahwa wanita cantik ini sudah ada yang punya.

“inget jemput aku jam 4.” Serunya saat sampai di depan gerbang rumahnya. aku mengangguk dan tersenyum. Ia masuk kedalam rumahnya. Baru saja aku hendak melanjutkan perjalanan, handphone-ku berdering.

“Ngga, Mama kecelakaan! Kita harus ke Bali HARI INI!”Suara Kak Anne panik. Begitupun perasaanku. Aku segera pulang. Kakak-kakakku telah berkumpul. Kami segera menuju airport untuk perjalanan ke Bali. Kami semua panik. Jantungku berdetak cepat. Tak ada satupun kata yang keluar dari mulut kami saat perjalanan menuju Rumah Sakit Sanglah Bali. Disana telah ada ayahku, nenek, dan tanteku. Kak Anne segera menghampiri ibuku. Mengajaknya berbicara. Namun tak ada balasan. Ibuku terdiam kaku di tempat tidurnya. Pipinya terluka. Kaki kanannya di Perban. Kak Anne histeris. Aku melihat ayahku, sepertinya habis mengeluarkan air mata. Takut kehilangan orang yang ia sayang. Nenek dan Tanteku segera menenangkan Kak Anne. Aku, Kak Joe dan Kak Ray berdiri kaku menatap tubuh ibuku.

“Mama kalian koma.” Celetuk ayahku. Setitik air mata menetes lagi di mata kirinya. Aku tak pernah melihat ayahku menangis sebelumnya.

“kenapa bisa begini yah?” Tanya Kak Ray.

“Rem mobilnya blong. Ia menabrak pembatas jalan.” Ayahku menjelaskan. Setelah beberapa lama, keadaan panik mulai mereda. Kak Anne kini terkendali. Ia hanya terkejut mendapatkan kabar itu.

“kalian pasti lelah, lebih baik kalian pulang ke rumah nenek dan istirahat dulu.” Ujar Tanteku.

“biar aku dan papa yang jaga mama” jawab Kak Anne. Kami akhirnya pulang ke rumah nenekku. Nenekku adalah orang bali, umurnya kini 73 tahun, tapi masih tetap terlihat sehat dan segar. Ia menikah dengan seorang tentara belanda dan menetap di Bali. Kakekku sudah lama meninggal, mungkin saat aku berumur 5 tahun. Aku tumbuh besar di Bali. Lulus SMP, keluargaku pindah ke Jakarta. Sedangkan Nenek dan keluarga tanteku tetap di Bali. Nenekku adalah seorang wanita Bali sejati. Ia masih tetap mengenakan kebaya dan kain sebagai pakaiannya.

Kami akhirnya sampai di rumah nenek yang besar. Tentu saja karena rumah ini adalah rumah keluarga. Terkadang, saat ada acara keluarga. Kami semua akan berkumpul dan tinggal dirumah ini. Tanteku mengantarkan kami ke kamar masing-masing. Setelah itu ia segera menemani nenekku lagi. Aku menghempaskan tubuhku ketempat tidur. Merenggangkan otot-otot yang kaku.

Mama. Kenapa mama? Baru aja aku bahagia bersama Nadine, dan sekarang mama koma. Kenapa?

Nadine! Aku lupa memberinya kabar. Aku lupa bahwa handphoneku mati selama di pesawat. Aku segera menghidupkannya. Ada 7 pesan yang belum terbaca. Semuanya dari Nadine. Aku segera membalas pesannya:

“sorry Nad, aku lupa ngabarin kamu. Tadi aku panik banget. Aku lagi di Bali. Mama kecelakaan. Sekarang masih koma. Sorry banget Nad, tadi aku buru-buru. Aku lupa hidupin handphone setelah keluar dari pesawat.”

Lima menit kemudian aku mendapatkan balasannya:

“okey.. ga apa-apa kok.. aku berdoa buat mama kamu.. jaga diri ya disana.”

Aku sedikit tenang ia tidak marah. Tanpa sadar aku tertidur beberapa jam. Sampai akhirnya nenek membangunkanku.

“Hey,, bangun, makan malam dulu.. setelah itu kita ke rumah sakit.” Aku terbangun dan melihatnya duduk ditepi tempat tidur.

“oh aku ketiduran nek, jam berapa sekarang?”

“jam 7. Ayo, yang lain sudah ada di ruang makan.”

Setelah makan malam. Kami segera menuju rumah sakit. Ayah terlihat sangat letih sedangkan Kak Anne telah tertidur di sofa. Nenek membawakannya makanan. Ibuku Belum sadar juga. Dan ruangan ini semakin penuh karena kami. Aku keluar dari ruangan untuk mencari udara segar. Mengelilingi koridor rumah sakit. Dan tanpa ku duga, aku melihat sosok yang ku kenal. Om Dion, ia baru saja keluar dari sebuah ruangan.

“Om, siapa yang sakit?” aku menyapanya. Ia menatapku dalam-dalam. Mencoba untuk mengingat siapa aku ini.

“astaga! Rangga? Kamu sudah besar sekarang. Gimana di Jakarta? Siapa yang sakit?”

“baik om, Mama kecelakaan.” Aku menjelaskan. “kabar Renata gimana om?” senyum lebar Om Dion berubah menjadi kepanikan.

“Renata sakit Ngga…” ia menghela nafas dan melanjutkan kata-katanya “ Kanker Otak.” Aku tak mampu berkata—terkejut.

Renata? Kanker Otak??.

Benakku.

“kanker?!” aku mengecilkan suaraku.

“iya. Dia ada di sana.” Om Dion menunjuk ruangan yang ia masuki tadi. “jenguk dia Ngga” ia memohon. Aku terdiam. “om tau kalian dulu sangat dekat. Renata yang dulu bukan lagi Renata yang sekarang, dia jadi pendiam setelah didiagnosis dokter. Harapan om, Renata bisa cerita semuanya di kamu, semua isi hatinya, dan memberikannya harapan hidup.” Aku menghela nafasku.

“oke om” Om Dion tersenyum dan membawaku ke ruangan Renata. Ada sedikit canggung dihatiku. Renata yang kukenal ceria dulu. Apa yang akan terjadi saat ia melihatku? Apa aku masih bisa menjadi teman dekatnya lagi? Apa yang harus ku perbuat untuk memberikan harapan hidup untuknya?

Gadis itu duduk di tempat tidurnya. Kakinya ditekuk. Matanya menerawang. Tidak seperti Renata yang ku kenal dulu. Ia sama sekali tak melihatku. Aku mendekatinya perlahan.

“hei,” tegurku. Ia melirikku. Mencoba untuk mengingatku. Tapi tak seberapa lama ia menjawabku.

“untuk apa kamu kesini?” ketusnya.

“wow wow wow.. kok ketus gitu sih? Aku kesini buat kamuuu..” aku mencoba mengajaknya bercanda.

“ngaco! Pasti ayah yang nyuruh kamu kesini. Iya kan?” ia melempar bantalnya tepat diwajahku.

“okey.. tapi ya iya lah.. aku tau kamu disini kan karena ayah kamu?” aku mencoba membuatnya tertawa. Belum berhasil. Tapi aku masih mengingat gayanya, caranya berbicara yang selalu ketus, sorot matanya yang memberikan permusuhan. Semua masih ada didalam dirinya.

“memang ayah yang nyuruh Rangga kesini” suara lelaki itu memecah keributan ku dengan Renata.

Please yah…” aku mellihat matanya yang manja tertuju kearah ayahnya.

“Come on Renata. Kamu butuh teman.” Ia mencoba membujuk Renata. “ Ayah keluar sebentar untuk makan malam.” Ia segera keluar meninggalkan aku dan Renata. Kami membisu beberapa saat.

“sejak kapan kamu balik?” celetuknya melepas kesunyian.

“tadi siang.”

“untuk apa?.”

“Mamaku kecelakaan. Dia dirawat disini.”

“Tante Novi? Kok bisa Ngga? Kalian kan di Jakarta.” Sorot matanya menandakan ia terkejut dan prihatin. Padahal ia lebih memprihatinkan.

“Mama dan Papa ada urusan di Bali. Papa bilang, Rem mobil mama blong dan nabrak pembatas jalan.” Ia terdiam. Mencoba meresap setiap kata yang keluar dari mulutku.

“Aku turut prihatin Ngga.” Wajahnya tulus. Sikap angkuhnya mulai ku lunakan.

“kamu lebih memprihatinkan Ren.” Balasku.

“aku tau. Kanker Otak bukan sekedar penyakit flu atau demam.” Aku terdiam mendengar penuturannya. Tanpa kusadari matanya berkaca-kaca. Ia menangis. Aku mendekatinya. Mencoba untuk menenangkannya. Aku memeluknya.

“kamu pasti bisa Ren, kamu pasti sembuh.” Pelukanku semakin erat.

“aku takut Ngga, aku takut mati.” Jawabnya terisak.

“percaya sama aku! Kamu pasti sembuh. Dan kamu bisa seperti dulu lagi.” Aku memegang kedua pundaknya. Berada tepat didepannya. Aku mencoba menenangkannya. Tangisnya mulai mereda. Ia menatapku. Namun ia mulai terisak lagi. “hei hei.. nangis nggak akan mengubah keadaan.”

“tapi aku bisa merasa lebih baik.” Jawabnya singkat.

“tapi kamu harus mengikuti semua pengobatan disini, ya.. kalo kamu pengen sembuh.” Aku mencoba tersenyum walaupun hatiku mengatakan aku sangat mengasihaninya. Sesaat ia tersenyum dan tangisnya mereda.

“iya aku tau. Makasi Ngga, udah tenangin aku.” Ia tersenyum lebar kepadaku. Tanpa sadar, tatapan kami bertemu untuk beberapa lama sebelum handphone-ku bordering. Aku tersadar. Renata segera memalingkan wajahnya. Aku keluar dari ruangan itu untuk mengangkat telfon dari Nadine.

“halo,”

“beib.. gimana kabar mama kamu?”

“ehm,, masih koma Nad.” Jelasku. Ia terdiam sesaat.

“aku terus berdoa buat mama kamu. Kapan kamu balik?”

“belum tau, kayaknya tunggu mama ku sadar.. tapi kalo emang dua minggu kedepan masih seperti ini, terpaksa aku harus balik.”

“okey.. take care ya,, semoga mama kamu cepet sadar.” Aku mematikan handphone-ku dan kembali ke ruangan Renata. Ia berdiri memunggungiku. Menghadap ke sebuah jendela merasakan angin rumah sakit.

“keluar.” Celetuknya ketus.

“apa?”

“keluar. Tugas kamu udah selesai.” Ia tetap memunggungiku. Seakan tak ingin memperlihatkan wajah sembabnya.

“maksud kamu apa sih?”

“aku tau ayah yang suruh kamu kesini buat tenangin aku. Dan kamu berhasil buat aku tenang, kamu boleh keluar sekarang.”

“Ren…” baru saja aku ingin menjelaskan, Om Dion datang dari balik pintu.

“Rangga, tadi om ke mama kamu. Om doain supaya dia cepet sadar ya.” Jelasnya. Mataku masih kearah Renata yang memunggungiku.

“makasi om, kayaknya aku udah harus pergi sekarang.” Aku segera meninggalkan ruangan itu.

Darimana ia tau bahwa ayahnya yang menyuruhku masuk? Tapi sejujurnya, aku memang ingin menjenguknya. Bukan hanya ingin menenangkannya, tapi juga membuatnya sembuh. Seandainya aku seorang dokter. Aku akan mencoba berbagai cara agar pasienku ini bisa sembuh. Benakku. Akhirnya langkahku sampai didepan ruangan Ibuku. Ia masih seperti yang tadi. Terbujur tak berdaya. Kak Anne segera keluar dari ruangan saat handphone-nya bordering. Rupanya dari pelayan di café-nya. Aku tak tau masalah apa, yang pasti Kak Anne sedang pusing-pusingnya hari ini. Kak Ray tertidur di sofa. Sedangkan Kak Joe sedang memainkan handphone-nya.

“Papa mana? Nenek? Tante?” tanyaku ke Kak Joe—sedikit berbisik.

“mereka di kantin rumah sakit. Kalo kamu laper kesana aja.” Aku menggeleng. Aku duduk di sebelahnya. Dan aku tak mengingat apa-apa lagi.

Aku mendengar keributan. Saat kubuka mataku, dua suster dan satu dokter menghampiri ibuku. Kak Ray menarikku untuk mengajakku keluar ruangan. Kami menunggu diluar untuk beberapa menit. Kak Ray mengatakan bahwa tadi Ibuku tersadar. Namun saat Kak Ray mencari dokter, ia tak sadarkan diri lagi. Sesaat kemudian dokter keluar.

“bagaimana Dok? Tanya Kak Anne.”

“syukurlah.. ia telah melewati masa kritisnya. Tapi untuk sadar secara total butuh waktu yang lama.” Jawab dokter.

Butuh waktu yang lama? Benakku. Kak Ray dan Kak Anne saling bertatapan. Sang dokter berlalu bersama dua perawatnya. Tak lama kemudian aku melihat Om Dion berlari menghampiriku.

“Rangga! Renata hilang.”

Aku segera mengendarai mobilku. Mencarinya disekitar jalan Rumah Sakit. Aku melihat kea rah jam tanganku—pukul 02.23 pagi.

Sial! Pergi kemana dia malam-malam begini? Benakku. Aku terus membuka mataku. Menyisir jalan seandainya ia masih berada tak jauh dari jalan menuju rumah sakit. Om Dion masih mencarinya didalam rumah sakit. Aku melihat seseorang didepanku. Seseorang berpakaian rumah sakit. Ya benar! Ia Renata. Jalannya terhuyung-huyung. Aku keluar dari mobil dan mendekatinya sesaat sebelum ia terjatuh. Aku menggendongnya menuju mobil. Namun ia memeras tanganku.

“jangan bawa aku ke rumah sakit. Aku mohon.” Pintanya. Aku mendudukannya di kursi mobil.

“trus kamu maunya gimana?” aku mencoba mengikuti keinginannya.

“jalan, aku akan tunjukan tempatnya.” Sesaat aku menatapnya. Lalu mulai menghidupkan mobil. Aku sempat mengirim pesan singkat ke nomor Om Dion bahwa aku telah menemukan Renata dan menjelaskan semuanya.

Sampailah kami di sebuah bukit tak jauh dari rumah sakit. Ia keluar dari mobil. Berjalan tanpa arah di sekitar bukit yang gelap.

“masih ingat tempat ini?” ia menoleh ke arahku. “waktu itu kita umur 8 tahun. Kamu jatuh dari sepeda. Aku bantu kamu berdiri dan obtain luka kamu. Itulah awal kita bertemu.” Aku terdiam mencoba mengingat kenangan demi kenangan. Ya. Aku ingat semuanya. Semua tentang aku dan Renata. Tentang masa kecil kita. Tentang persahabatan kita hingga SMP dan akhirnya aku pindah ke Jakarta. Saat hari terakhirku di Bali, Renata tak mau menemuiku. Bahkan sekedar bicara denganku. Aku merasa bersalah. Tapi apa boleh buat? Aku harus mengikuti keluargaku. Selama rentang 3 tahun kami berpisah. Dan kini kami bertemu saat keadaannya seperti ini.

“aku harap kamu bisa tetap tinggal disini.” Tiba-tiba ia mendekatiku.

“nggak bisa Ren.” Aku mencoba tersenyum padanya. Matanya berkaca-kaca. Aku tak mampu menatapnya. Mungkin sekitar 30 menit kami diam di bukit itu. Dan setelah ku rayu, akhirnya Renata mau kembali ke rumah sakit. Om Dion langsung menyambut kami. Renata segera dibawa ke ruangannya. Tak lama kemudian Kak Joe mendatangiku dan mengatakan Ibuku telah melewati masa komanya. Aku segera mencarinya. Bersama Kak joe, aku kembali ke ruangan Ibuku.

“Ma..” aku langsung memeluknya yang masih lemah. Tak terasa air mataku mengalir. Ia membalas pelukku.

“mama pikir nggak akan bisa lihat kamu lagi nak” ia mempererat pelukannya. Aku melihat sekitarku, Kak Anna juga menangis. Tentunya menangis bahagia. Akhirnya masalah di keluarga ini usai. Walaupun Ibuku harus tetap di rumah sakit untuk beberapa hari.

2 hari berlalu. Aku masuk kedalam ruangan Renata. ia melihatku dan berusaha menutup wajahnya dengan kedua tangannya.

“heii.. kenapa?” Tanyaku bingung.

“lebih baik kamu pergi.” Jawabnya ketus lagi-lagi.

“apa yang salah?” ia menarik beberapa helai rambutnya yang rontok.

“ini!” ia memperlihatkan rambutnya. “ bentar lagi aku botak Ngga.” Ia menangis dan memelukku. Aku balas pelukannya.

“nggak apa-apa Ren, kamu tetap Renata bagi aku.” Aku mencoba menenangkannya.

“Iya. Renata yang menyedihkan!” jawabnya.

“Nooo! Yang aku tau, Renata itu kuat, Tegar! Kemana Renata yang dulu? Aku harap kamu masih Renata yang dulu.” Nada bicaraku sedikit keras. Untuk membuktikan bahwa ia tak seburuk yang ia pikirkan. Kami bertatapan untuk beberapa menit. “kamu harus sering keluar. Kena sinar matahari, supaya kamu nggak pucat.” Aku melanjutkan dengan nada yang sedikit lembut. Aku membuka jendela di ruangan itu.

“makasi Ngga.” Ia mendekatiku di pinggir jendela. “aku nggak tau aku udah kayak gimana kalo nggak ketemu kamu.” Aku tersenyum.

“kita kan sahabat. Harus saling bantu.” Jawabku. Seketika wajahnya berubah. Ia berbalik menuju tempat tidurnya.

“aku mau tidur Ngga. Kamu bisa keluar kan?” ujarnya tanpa melihatku.

“oh, ya.” Jawabku bingung. Aku segera keluar dari ruangannya. Tak beberapa lama handphone-ku bergetar—dari Nadine.

“hai beib.” Jawabku.

“hai sayang.. selamat ya mama kamu udah sembuh.”

“makasi sayang, sekarang mama masih harus di rumah sakit untuk beberapa hari.”

“jadi kapan kamu balik?” aku terdiam. “halo?”

“aku nggak janji Nad.”

“loh, kenapa?”

“temen aku ada yang sakit di rumah sakit ini juga. Kayaknya aku harus nemenin dia dulu.”

“jadi kita nggak bisa ketemu?” Tanyanya manja.

come on honey.. dia sakit keras.”

“okey.. aku tunggu kamu di Jakarta.”

thanks beib.” Sambungan terputus.

Keesokan harinya aku datang lagi ke ruangan Renata. dengan membawa sesuatu.

“hei.” Sapaku. Ternyata disana ada Om dion dan beberapa suster.

“hai” jawab Renata ceria. Aku melihat rambutnya kini benar-benar sudah tak ada.

“lihat aku bawa apa.” Tanyaku sambil meletakan kedua tanganku ke belakang badanku.

“apa?”

“Tada!” aku memberikannya sebuah wig. Ia terlihat ceria. Dan segera mencoba wig tersebut. Aku tak pernah melihatnya seceria ini. Om Dion pun ikut bahagia melihat anaknya kini selalu tersenyum.

“makasi Ngga. Oh iya, hari ini aku keluar dari rumah sakit. Kayaknya lebih baik di rawat jalan aja.” Ujarnya. aku melihat Om Dion telah mengemas semua barang-barang Renata.

“kamu bisa Main-main ke rumah, Ngga. Rumah kita masih yang dulu kok” Om Dion menepuk bahuku. “makasi buat semuanya.” Aku mengangguk perlahan. Mereka pun berlalu. Tiba-tiba saja ada sesuatu yang mengganjal di hatiku. Aku tak tahu apa artinya. Seperti rasa kehilangan yang amat sangat. Beberapa hari berlalu. Dan akhirnya Ibuku bisa keluar dari rumah sakit. Kak Ray meminta izin untuk ke Jakarta lebih dulu karena pekerjaannya sudah menumpuk. Sedangkan aku, Kak Anne, dan Kak Joe tetap di Bali karena ibuku belum sepenuhnya sembuh. Hari demi hari—aku selalu menjenguk Renata di rumahnya. Dan suatu hari Om Dion mengatakan sesuatu padaku.

“sebenarnya, Renata suka sama kamu.” Aku terkejut. Aku benar-benar tak tau bahwa sahabatku itu menyukaiku. “sejak kelas 2 SMP, dia selalu cerita sama Om. Karena itulah Om tau bahwa hanya kamu yang bisa buat dia tersenyum. Dan untuk yang terakhir kalinya Om mohon kamu bisa bantu Om.” Ia terlihat benar-benar sedih.

“apa om.”

“Om mohon, kamu bisa menyatakan cinta ke Renata.” kata-kata itu langsung menyambar telingaku. Aku bingung harus menjawab seperti apa dan bagaimana caraku harus menjelaskan. “Om mohon Ngga, Om baru mendapat kabar kalo umur Renata nggak lama lagi. Tolong Om Ngga, untuk terakhir kalinya.” Pintanya.

Apa yang harus ku katakan?

Bagaimana caraku menjelaskan bahwa aku mempunyai Nadine?

Tapi aku melihat kesedihan mendalam di wajah Om Dion yang kian menua. aku tau ada banyak masalah di dalam hidupnya terutama penyakit Renata. anak satu-satunya. Aku menghela nafasku untuk menjawabnya. Berharap ini adalah pilihan yang benar.

“aku siap Om”

“kamu bawa aku kemana?” Tanya Renata. aku menutup sengaja menutup matanya.

“ntar juga kamu tau.” Jawabku. Akhirnya kita sampai ditempat yang dituju. Aku mengajaknya ke puncak tempat ia menceritakan awal pertemuan kita. Tak lama aku membuka matanya. Bersujud di depannya dan memegang satu tangannya.

“Renata Putrianna Handoko, would you be my girl?” aku tak mampu menatap matanya. Aku hanya membayangkan bagaimana raut wajah Nadine jika mengetahui semua ini. Tapi disisi lain hatiku berdebar. Seakan aku benar-benar menyatakan cinta pada orang yang ku cintai. Aku meliriknya sedikit ia tampak terkejut.

“aku nggak nyangka Ngga.” Ia tampak sangat bahagia.

Oh Tuhan.. apa yang terjadi jika ia tau yang sebenarnya??

“So?” Tanya ku memperjelas.

“I do.” Ia memelukku. Aku berusaha memeluknya dan menepis segala pikiran ku tentang Nadine. Tanpa kusadari hatiku terasa nyaman dipelukannya. Ia berkata bahwa ia menyukaiku sejak kelas 2 SMP. Sama seperti yang Om Dion padaku. Aku tak tau harus merasakan apa saat ini. Aku merasakan kebingungan jika ia tau semuanya. Disisi lain aku merasa bahagia tanpa alasan yang tepat. Dan disisi lainnya lagi, aku sangat takut kehilangan Nadine. Semua menjadi satu dan menimbulkan gejolak yang aneh. Aku tak mengerti.

“Ngga?” ia berusaha menyadarkanku dari khayalan. “Udah sore. Kita pulang aja yuk.”

Ia sangat ceria, berbeda dengan Renata yang kemarin.

“kamu udah..?” Tanya Om Dion.

“iya Om.” Ia menatapku tulus. Matanya menyorotkan rasa syukur yang amat sangat.

“terima kasih Ngga. Om nggak tau harus gimana lagi.”

“nggak apa-apa Om, ini juga kan buat kesehatan Renata.” aku berusaha meyakinkannya. Aku pulang dari rumahnya. Aku berfikir dan berfikir. Sampai kapan aku akan membohongi Renata? sampai kapan aku akan menduakan Nadine? Walaupun ini semua hanya sementara.

Beberapa hari selanjutnya—aku mengajak Renata untuk menikmati senja di Pantai Kuta. Ia terlihat sangat cantik dan ceria. Aku tak tau apa yang terjadi. Kini aku merasa nyaman didekatnya. Matahari mulai tenggelam. Ombak-ombak bersahutan. Dan warna senja yang merah keunguan menambah kegundahanku.

“kamu tau nggak?” celetuknya. “kemarin aku mimpi. Kalo kamu pergi dari Bali. Dan nggak kembali lagi. Kamu bilang udah nggak cinta sama aku.”

“Cuma mimpi kan?” aku menoleh tersenyum padanya.

“aku takut itu benar-benar terjadi.” Ia memelukku.

“nggak akan.. sayang” aku merasa canggung saat memanggilnya ‘sayang’ namun aku nyaman di pelukannya. Dan tanpa kusadari. Wajahku dan wajahnya kian dekat. Sampai akhirnya aku menjauh.

Nggak mungkin. Aku nggak mungkin suka sama dia. Dia sahabatku. Renata. bukan Nadine. Dan nggak akan pernah menjadi Nadine!

Benakku. Namun aku tak mampu mendustai perasaanku. Aku selalu nyaman disisinya menyukai senyumnya dan bahagia bersamanya. Apalagi saat aku hampir menciumnya tadi. Aku benar-benar tak sadar bahwa aku hampir saja melewati batas. Aku tak ingin mengingkari hubunganku dengan Nadine. Tapi inilah yang terjadi. Aku terjebak dengan pilihanku sendiri. Dan akhirnya aku putuskan, aku menyukainya. Aku menyukai Renata. aku akan menemaninya sampai batas akhir hidupnya. Pukul 08.22 malam. Kami pulang dari pantai. Tadi pagi Kak Anne menyuruhku untuk mengajak Renata makan malam dirumahku. Ya. Kak Renata tau kebohonganku. Bahwa aku menjalin hubungan dengan Renata.

“Kamu gila!” cercahnya hampir berteriak. “kamu udah mainin perasaan orang! Kamu udah mainin perasaan Nadine! Kamu udah mainin perasaan Renata!”

“aku bingung kak” aku hanya bisa tertunduk lesu.

“Mereka mencintai kamu tulus Ngga, tapi bukan gini cara kamu membalasnya. Kamu pikirin Nadine. Hubungan kalian udah 1 tahun. Dan gimana kalo dia tau semuanya? Apa kamu rela lepasin dia dan buat dia sakit hati?! Gimana sama Renata? seandainya dia tau apa yang terjadi, kamu piker dia bisa terima? Dia pasti malu Ngga! Dia malu karena dia Cuma jadi mainan kamu.”

“bukan mainan kak! Dia sahabat aku! Dan aku akan melakukan apa aja supaya dia bahagia.” Jawabku berang. Kak Anne terdiam menatapku kosong. “umurnya nggak lama lagi. Apa aku nggak boleh bahagiain dia selama sisa hidupnya?” mataku berkaca-kaca. Bukan karena Kak Anne. Melainkan Renata. aku tak ingin melihatnya terbujur tak berdaya.

“tapi kamu udah bohongin dia Ngga..” Kak Anne melemah. Ia terkejut mendengar bahwa umur Renata tak lama lagi.

“please, Kak”

“okey.. Tapi kamu harus bisa rahasiain ini ke Nadine. Kalo sampe Nadine tau. Kakak nggak bisa apa-apa.”

Akhirnya kami sampai dirumah—membuat lamunanku terhenti. Aku dan Renata keluar dari mobil. Aku membuka pintu rumahku dan tepat saat itu aku menemukan seorang wanita bertubuh tinggi dan berambut panjang.

“NADINE?!”

“Hai Baby… aku kangen sama kamu..” ia segera memelukku. Sumpah mati aku panik saat ini. Apa yang harus kukatakan? Apa yang Kak Anne lakukan?! Aku tak membalas kata-katanya. Aku melirik Renata. ia menunduk kaku—tak mengerti tentang wanita didepannya yaitu Nadine. “ini sahabat kamu?” Tanya Nadine. Rupanya ia belum tau apa-apa.

“aku pacarnya.” Sergah Renata. aku terkejut. Nadine terkejut.

“Ngga?” Nadine menoleh kearahku meminta penjelasan. Wajahnya amat sangat menyedihkan. Aku tau hatinya hancur. Aku terdiam mencoba untuk tak menatapnya. “asal kamu tau ya! Aku pacarnya Rangga di Jakarta!” cerca Nadine tepat diwajah Renata. tak lama kemudian aku melihat mobil Kak Anne masuk kedalam rumah. Ia tampak tak tau apa-apa. namun setelah menlihat tiga wajah kami, wajahnya segera berubah. Ia segera menghampiri kami.

“ada apa ini?” Tanya Kak Anne panik.

“Kak Anne kok nggak bilang sih kalo Rangga di Bali kayak gini??!” Nadine segera menyalahkan Kak Anne. Seketika Renata segera pergi. Ia berlari keluar rumah dan pergi menggunakan taksi. Sontak aku segera mengejarnya. Namun Kak Anne menahanku.

“Kak?!” ia segera melepasku. “ kamu bodoh ya?! Dia itu Renata! temen aku yang lagi sakit! Kamu bener-bener BODOH!” cerca ku kearah Nadine yang segera disambut dengan airmatanya. Aku segera mengejar Renata dengan mobilku.

“temen kamu atau pacar kamu hah?! Kalo kamu masih mentingin dia disbanding aku, kita putus!” kata-kata itu menghentikan langkahku. Aku menoleh ke arahnya. Ia menatapku berang.

“sorry Nad, aku harus cari dia.” Aku segera melanjutkan langkahku dan segera meninggalkan rumahku. Akhirnya ini benar-benar terjadi. Apa yang dikatakan Kak Anne benar-benar terjadi. Renata dan Nadine akan membenciku. Hampir setengah dari jalan menuju Rumah Renata, aku mendapat telefon dari Om Dion.

“Ngga, Renata ada di rumah sakit, kamu harus kesini. Sekarang!” aku segera memutar laju mobilku menuju rumah sakit. Apa yang terjadi? Ini salahku. Salahku yang membiarkan Renata pergi. Aku tak berani memikirkan hal buruk tentang Renata. yang kupikirkan hanya menuju rumah sakit.

“penyakit Renata kumat, sekarang dia kritis. Ternyata ia tak pernah meminum obat dari dokter.” Jelas Om Dion. Aku tak berdaya. Aku terduduk lesu di ruang tunggu rumah sakit. Tak lama kemudian Kak Anne, Kak Joe dan Nenek datang. Menanyakan kabar Renata. wajah mereka cemas. Mereka sama cemasnya denganku. Kak Anne menarikku dan membawa ku ke tempat yang sedikit sepi.

“jujur. Kakak nggak tau kalo Nadine akan cari kamu ke Bali.”

“aku tau kak.”

“dan sekarang kakak mohon. Telfon dia. Minta maaf dan perbaiki hubungan kalian.” Aku membisu. “ tadi dia langsung pergi. Bawa semua barang-barangnya. Dia bilang mau balik ke Jakarta.” Aku masih terdiam. “please Ngga, kasian dia.”

“okey kak, aku akan coba.” Jawabku singkat.

“ok, kalo gitu kakak balik ke Ke Kak Joe dan Nenek” jawabnya yang segera melangkah menjauh dariku.

Terdengar nada sambung beberapa lama sampai akhirnya ia mengangkat telfonku. Ia tak mengatakan apa-apa. hanya mengangkat telfonnya.

“maafin aku.” Celetukku.

“kalo aja tadi kamu mau tahan aku dirumah kamu. Aku bisa maafin kamu.” Jawabnya lemah.

“aku tau aku salah.. but please, beri aku kesempatan buat jelasin semua.”

“oke. Sekarang jelasin.”

“aku sama Renata itu Cuma sahabatan. Dia kena Kanker Otak. Dan ayahnya bilang kalo dia suka sama aku.”

“dan kamu pacaran sama dia.”

“bukan gitu Nad, aku pikir, apa salahnya aku membahagiakannya di hari-hari terakhirnya?”

“oke aku terima.”

“apa?”

“aku terima Ngga, tapi untuk hubungan kita, aku nggak yakin. Lebih baik kamu jaga tuh si Renata sampe kamu puas.” Suaranya terisak. Aku tau ia menangis.

“Nad kamu salah Nad!” sambungan terputus. Om Dion menepuk pundakku.

“Renata ingin bicara sama kamu.”

“maafin aku Ren.” Aku menggenggam tangannya. Ruangan ini sepi. Hanya ada aku dan Renata yang terbujur lemah di tempat tidurnya.

“aku maafin kamu Ngga.” Ia mencoba tersenyum padaku. “ nggak seharusnya kamu bohong ke aku tentang perasaan kamu.”

“tapi aku nyaman didekat kamu.”

“hanya nyaman Ngga, itu bukan berarti kamu cinta sama aku. Kamu inget waktu dipantai tadi? Waktu kita hampai ciuman. Kamu menjauh. Itu nandain kalo cinta kamu ke Nadine lebih besar dari cintamu ke aku.”

“aku Cuma mau kamu bahagia Ren.” Aku hampir menangis menatapnya.

“aku nggak akan bahagia kalo ngerusak hubungan orang Ngga.” Aku mempererat genggamanku dan mencium tangannya. “aku Cuma mau kamu bisa mengabulkan permintaan terakhir aku. Kejar Nadine.” Aku menatapnya. Ia tersenyum tulus padaku. “bilang sama dia kalo kamu cinta sama dia dan jelasin semuanya.” Aku masih terduduk kaku disamping tempat tidurnya. “Please Ngga.” Ia memohon.

“aku nggak akan pernah ngelupain kamu Renata.” aku segera keluar dari ruangan itu. Keluar dari rumah sakit. Dan mengendarai mobilku menuju Bandara Ngurah Rai. Beribu perasaan berkecamuk di hatiku. Perasaan takut, gembira, gundah semua tercampur di hatiku sampai-sampai aku tak tau apa yang sebenarnya kurasakan. Kenangan-kenanganku dengan Renata bertaburan dipikiranku. Aku tak akan menyia-nyiakannya. 1 tahun. Hubunganku sudah 1 tahun dan semua berakhir seperti ini? Aku tak akan membiarkannya. Aku sampai di Bandara. Dan segera mencarinya. Aku melihat penerbangan menuju Jakarta 10.00. aku melihat jam tanganku—pukul 09.55. aku semakin panik mencarinya. Sampai akhirnya aku menemukannya diruang tunggu. Ia berdiri melihatku. Aku mendekatinya.

“maafin aku.” kataku tepat didepannya. Ia terdiam. Matanya tepat menatap ke mataku. Sedetik kemudian ia menangis dan memelukku.

“jangan pernah mainin aku.” Isaknya. Pelukannya semakin erat.

“aku nggak pernah mainin kamu. Aku selalu cinta kamu.”

“jangan pernah bohongin aku lagi.” Jawabnya.

“Nadine. I’m deeply and truly loving you.” Kami menangis dan berpelukan. Pada akhirnya Nadine memberikanku kesempatan untuk ada di hatinya lagi.

30 juni 2011—Abu Renata di hanyutkan di pantai. Aku dan Nadine ikut dalam acara itu. Om Dion tampak terpukul. Ia menghampiri ku dan Nadine.

“makasi kamu udah bantu Om selama ini.. dan maaf Om udah buat hubungan kalian sedikit retak. Dan Om sudah mengikhlaskan Renata. yang Om bisa lakukan saat ini hanya mendoakannya.

“iya Om. Aku dan Nadine juga akan tetap mendoakan Renata. semoga dia tenang di sisi-Nya.”

The End

Tidak ada komentar:

Posting Komentar