"apa harapan kamu kedepannya?"
“saya harap saya bisa menjadi yang lebih baik dari sebelumnya.” Lelaki bertubuh tegap itu meminum cappucinno-nya.
“dan ada satu hal yang belum pernah kami lihat di sepanjang karier kamu. Pasangan.” Ia menatap lelaki itu tajam. Ujung bibirnya menyunggingkan senyum.
“pasangan? Um, menurut saya untuk saat ini pasangan itu nggak penting ya. Saya Cuma mau mengejar karier saya dulu. Dan setelah itu, mungkin saya akan cari.”
“bukankah karier kamu kini ada di puncak?”
“bagi saya belum. Saya ingin lebih tinggi dari ini. Dan harapan saya di album ke-3 ini, saya bisa menciptakan pemikiran baru untuk semua penggemar saya dan juga penikmat music.” Lelaki itu menyunggingkan senyum penuh kemenangan.
“okey Milo, makasi udah meluangkan waktu untuk interview hari ini.” Ujar wanita itu. Wanita itu telah merekam setiap kata yang mereka katakan. dan pada saat yg ditentukan. Rubrik tentang album baru Emilo akan terbit di majalah bergengsi itu. Emilo adalah seorang musisi kelas atas yang baru saja mencapai puncak kesuksesannya. Album pertama dan kedua terbilang sukses dan kini penggemarnya ada dimana-mana terlebih lagi wanita. Statusnya yang terbilang masih sendiri membuatnya banyak diidam-idamkan gadis. Bukan hanya penggemar, sesama artis pun banyak yang telah terpikat oleh wajahnya yang tenang. Dan kali ini ia akan mengumumkan album barunya ke semua penikmat musik.
Ia masih berada di café itu. Wanita yang tadi mewawancarainya sudah 1 jam yang lalu pergi meninggalkannya.
Pasangan.
Kata itu masih terlintas di benaknya. Tentu ia membutuhkannya. Namun hatinya masih enggan untuk meninggalkan sosok wanita yang selalu ada di pikirannya. Wanita yang dulu memberikannya sesuatu perasaan yang ia sebut cinta. Dan lelaki itu tak mampu untuk melupakannya. Ia menatap minumannya yang telah habis.ia beranjak dari duduknya dan pergi meninggalkan café itu.
Pukul 08.00 malam—ia sampai ditempat launching albumnya. Para wartawan dan penggemarnya telah berkumpul untuk menyaksikannya. Lelaki itu terlihat sibuk memberikan tanda tangan di setiap album baru yang telah dibeli oleh penggemar-penggemarnya.
“tuh kan apa aku bilang! Sekarang antriannya panjang!” cerocos wanita yang berdiri jauh dari Emilo.
“ya sabar. Kan tadi aku ada urusan bentar.” Sahut lelaki disebelahnya.
“jadi urusan kamu lebih penting dari urusan aku?!”
“tentu.” Wanita itu mengambil napas dalam-dalam mendengar pernyataan singkat dari kekasihnya. “kamu pikir aja deh. Kamu kesini Cuma buat dapet tanda tangan aja kan? Itu yang dibilang penting? Mending aku yang tanda tangan.”
“dia itu artis Rio… mending kamu jadi artis dulu baru aku minta tanda tangan kamu.” Ejek wanita itu. Lelaki yang bernama Rio itu hanya cemberut.
Butuh waktu 90 menit untuk benar-benar sampai dihadapan sang pemilik album. Wanita itu terus mempererat pegangannya pada album yang baru saja dibelinya 3 hari yang lalu. Dan sampailah dia di posisi yang ia mau. Benar-benar dihadapan pria idamannya. Ia memberikan CD album itu ke pemiliknya. Romeo baru saja melihatnya. Dan wajahnya segera berubah. Ada sesuatu didalam perasaannya yang mengatakan wanita ini bukan wanita biasa.
“kak?” Wanita itu menyadarkan Romeo dari lamunan. Ia segera member tanda tangannya
“siapa namamu?” Tanya romeo. Wanita itu tergugup mengarahkan telunjuk kea rah dirinya sendiri. “iya, nama kamu.”
“um, Mina.”
“okey.. saya tulisin disini.. for Mina.” Wanita itu tersenyum.
“boleh aku minta foto?” pintanya. Romeo mengangguk. Mina melirik kekasihnya.
“apa?” Tanya Rio bingung.
“Kamera?!” Mina memperjelas.
“aku nggak tau kalo harus bawa kamera.” Jawab Rio polos.
“Kamu ya! Terus sekarang gimana?!” Mina mulai mengamuk.
“Handphone?” celetuk Romeo. “bisa pake kamera handphone.” Mina menatapnya lalu meraih tasnya dan mengeluarkan handphonenya.
“low baterai” Mina memasukan handphonenya kedalam tasnya lagi. Ia melirik kekasihnya dan mulai mencercanya lagi. Ditengah keriuhan, Emilo tiba-tiba melihat sosok wanita yang ia kenal. Sosok wanita yang memberikannya perasaan itu. Ia meninggalkan pasangan itu dan melangkah menuju arah wanita itu. Sandra—seorang entertainer yang sedang melambung sama seperti Emilo. Wanita itu tersenyum. Emilo memeluknya.
“kapan kamu balik?” Emilo menatap wanita itu.
“baru aja, aku sengaja buat kejutan di launching album kamu.” Sandra tersenyum—senyum yang yangat tulus. Tanpa sadar. Kejadian berpelukan itu membuat antrian panjang untuk tanda tangan Emilo kini menjadi kacau. Mereka segera berlari ke arah Emilo dan Sandra. Seolah ingin mencabiknya, seolah menyentuhnya saja adalah suatu berkah. Melihat hal itu, Emilo segera melindungi Sandra. Pasukan keamanan segera datang. Didalam keriuhan itu ia melihat sosok Mina dengan wajah memelas mencoba memberikannya secarik kertas padanya. Mina mulai terdorong oleh pasukan keamanan Emilo. Dalam kebingungannya, Emilo dengan cepat meraih kertas itu. Ia kembali melihat gadis itu yang membentuk tangannya seperti telefon dan meletakkannya di samping kepalanya. Wajahnya penuh harap sebelum akhirnya ia berhasil terdorong menjauh dari Emilo. Suasana sangat kacau. Emilo dan Sandra segera berlari keluar ruangan itu. Di tangannya, ia masih menggenggam kertas itu.
“masuk ke mobilku!” ujar Sandra. Emilo menyetujuinya dan segera meninggalkan tempat itu. Sepanjang perjalanan, Sandra terus tertawa.
“what?” Tanya Emilo bingung.
“itu ulah penggemarmu. Milo, kamu berhasil buat mereka jadi zombie kelaparan waktu mereka liat kita.” Sandra melanjutkan tawanya. Emilo tersenyum.
“heeeei.. mereka bukan zombie. Aku nggak punya penggemar dalam bentuk zombie.” Ujarnya yang disambut dengan gelak tawa Sandra.
Pukul 10.00 malam, mereka sampai di apartemen milik Sandra. Ia membawa barang-barang milik Sandra yang tak bisa dibilang sedikit.
“wooow lihat., apartemenmu berdebu.” Goda Emilo.
“yeaaah.. begitulah… seminggu di Singapore… semua udah berdebu.” Sandra meletakan kopernya di samping sofa. “but home sweet home.” Ia merebahkan dirinya di sofa. Emilo melihatnya—mungkin lebih tepat menatapnya. Wanita anggun dengan sifat nakal. Yang dulu dan yang sekarang sama saja. Ia tetap mencintainya. Lebih-lebih merindukannya.
“so.. apa yang kamu dapet di Singapore?” emilo duduk di sofa yang berlawanan arah dengan Sandra. Sandra meliriknya.
“well, Cuma beberapa foto, interview dan… holiday!” ia tersenyum. Hampir satu jam mereka gunakan untuk berbincang tentang liburan Sandra. Emilo baru saja keluar dari dapur mini di apartemen Sandra, membawa dua botol minuman kaleng sebelum ia melihat wanita itu telah tertidur pulas di sofa. Emilo menghela napasnya—ia tersenyum dan mendekatinya. Ia selalu menyukai ekspresi Sandra saat tertidur. Selalu ada yang membuatnya tertawa. Bukan lucu, tapi indah dan mungkin lebih dari itu. Disaat kita tertidur, tak akan ada kebohongan di wajah kita. Dan saat itulah moment terindah dari siklus hidup kita. Begitupun dengan Sandra. Wajahnya memancarkan ketulusan, dan pastinya kelelahan karena baru saja sampai di Indonesia. Emilo mengangkatnya menuju kamarnya. Membaringkannya dengan perlahan. Menyelimutinya, menatapnya untuk sesaat, meninggalkannya.
Gadis itu menangis. Tak henti-hentinya menangis. Dan tak henti-hentinya memukul kekasihnya.
“semua gara-gara kamu!!!!!” teriaknya. “gara-gara kamu aku nggak jadi fotoan sama Milo!!” ia melanjutkan tangisnya. Kekasihnya hanya terdiam seolah tak perduli.
“buat apa sih kamu nangis? Toh dia nggak bakal liat kamu. Fotoan sama aku juga bisa kan??” jawabnya sinis.
“RIIIOOO!! kamu bukan penyanyi! Kamu bukan model! Kamu bukan dancer seperti Milo!! Kamu bukan Emilo! Nenek-nenek sekarat juga tau!!” Rio terdiam sejenak. Wajahnya cemberut. Ia terus menjalankan mobilnya.
“denger ya, cewek kaya kamu, yang tergila-gila sama si Emilo itu banyak. Kamu pikir dia bakal liat kamu? NGGAK. Ada jutaan cewek yang punya sifat sama kayak kamu.” Mina terdiam—terkejut dengan kata-kata kekasihnya. Ia tak bernapas. Ia menatap jalan di balik kaca mobil. Dan mulai menangis lagi—lebih keras dari yang pertama.
“MINAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA!” teriak Rio.
Pukul 09.00 pagi di apartemen Sandra—sinar matahari sudah merambat masuk, terang menyilaukan mata Sandra. Ia terbangun dari tidurnya. Dengan rambut berantakan dan pakaian acak-acakan—ia belum mengganti pakaiannya! Ia melihat kekiri dan kekanan.
Sejak kapan aku dikamar?
Semalam aku diluar bersama Milo.
Apa Milo yang membawaku masuk?
Ia bangkit dari tempat tidurnya. Kerongkongannya kering, ia butuh air. Ia berjalan menuju dapur. Ia sempat melihat dua kaleng minuman di meja tamunya. Ia menemukan sebuah memo yang tertempel di kulkasnya.
Haii nona manis, sorry pulang nggak pamitan..
Aku liat kamu tidurnya pulas banget,
Aku tunggu kamu jam 02.00 di café biasa. Oke? Oke donk
EMILO
Ia tersenyum. Ia segera mengambil sebotol air mineral dan meminumnya. Ia melihat jam dinding yang berada di dapur—pukul 09.30 pagi. Masih banyak waktu untuk membersihkan apartemennya dan mandi. Ia melihat sekeliling ruangan apartemennya. Tidak terlalu banyak debu. Ia berfikir untuk membokar kopernya dan mengeluarkan barang-barangnya. Waktu yang lumayan panjang di Singapore. Melakukan interview di beberapa majalah. Paling tidak kariernya mulai menanjak sekarang. Dan ia dikenal hampir di seluruh asia sebagai seorang model papan atas. Namun sekarang ia hanya memilih beberapa pekerjaan saja dan lebih suka tinggal di Indonesia. Banyak kenangan di Negara ini. Dan ia tak bisa melepaskannya begitu saja. Hidup di keluarga yang harmonis dan menjadi anak bungsu dari 2 bersaudara, hidupnya sangat bahagia. Ia memilih untuk tinggal di apartemennya walaupun keluarganya juga tinggal di Jakarta. Ia hanya ingin mandiri. Bukan untuk berusaha menjauh. Kariernya yang jatuh bangun melahirkan banyak cerita dan pelajaran berharga.
Waktu menunjukan pukul 01.25 ia sudah siap bertemu dengan Emilo. Sudah lama ia tak bertemu dengan lelaki itu—seorang superstar asia—ia menyebutnya seperti itu. Ia kagum dengan karier Emilo yang terus menanjak dan dipuja banyak orang. Sikapnya yang manis dan ramah membuat banyak orang hormat padanya. Terlebih Sandra. Ia menyukai kepribadian lelaki ini. Seorang lelaki yang sangat menghargai wanita. Tak pelak ia suara dan wajahnya dikenal sampai ke negeri-negeri tetangga seperti Thailand, Singapore, Malaysia dan Korea.
“HI!” baru saja Sandra memasuki café, ia telah disambut dengan senyum manis Emilo. Ia membalasnya dan duduk di hadapan lelaki itu.
“udah lama?” tanya Sandra.
“baru aja.” Jawab Emilo. Tak lama kemudian minuman mereka datang. Emilo sudah memesan semuanya. Minuman dan makanan untuk mereka berdua.
“wow.” Celetuk Sandra. Suaranya berubah menjadi anak remaja centil. Emilo melihatnya—memberikan wajah seperti bertanya ‘ada apa?’. “ini gila! Aku makan siang bareng superstar pujaan cewek-cewek!” goda Sandra. Dengan wajah dibuat-buat. Emilo tersenyum.
“dan aku makan siang dengan seorang supermodel pujaan cowok-cowok.” Balas Emilo. Mereka tertawa. Dan mulai memakan hidangan makan siang mereka. Banyak media yang memberi argument bahwa mereka berdua berpacaran. Namun mereka beruda tetap berkata “hanya bersahabat.” Mereka mengatakan bahwa mereka bersekolah di SMA yang sama dan kini bertemu kembali. Banyak orang yang menginginkan mereka menjalin hubungan serius. Superstar dengan Supermodel. Siapa yang tak mempunyai impian seperti. Seolah-olah dunia telah sempurna.
“nanti malam aku harus ke Bandung.” Sandra menghabiskan suapan terakhirnya.
“secepat itu? Kamu baru aja pulang Sand.” Wajah Emilo yang awalnya ceria menjadi sendu.
“yaaa.. untuk majalah V. dan itu impianku dari dulu!” Sandra berusaha meyakinkan Emilo.
Pertemuan mereka selesai. Sandra kembali menuju Apartemennya untuk menyiapkan kepergiannya ke Bandung. Emilo masih berada di mobilnya.
Aku harus mengatakannya secepatnya.
Sebelum semuanya terlambat!
Kata Emilo dalam hati. Ia segera meluncur menjauh dari café itu.
Sampai saat ini Mina masih tak menghiraukan kekasihnya. Ia marah besar. Hanya karena Emilo. Ia tak mengangkat telfonnya seharian. Dan sekarang ia sedang bersepeda jauh dari rumahnya agar ia bisa menghilang dari Rio—ia hanya bisa mengendarai sepeda.
Dasar Rio sialan!
Rio jelek!
Dasar nggak punya malu.
STREEES!
Semua tertumpah di benak Mina. Dan tanpa sadar ia menabrak krikil yang lumayan besar dan terjatuh. Bodoh! Sepedanya melaju kearah kiri, ia terjatuh dan berguling-guling di rerumputan yang menurun. Ia tersungkur dan hampir tak sadarkan diri. Samar-samar, ia mendengar alunan biola yang merdu yang membuatnya tersadar. Ia mencoba bangkit dan mencari sumber suara. Kekiri dan kekanan. Dan ia melihat seorang lelaki memunggunginya tak jauh dari tempatnya berdiri. Lelaki itu memegang biola. Ia mendekati lelaki itu. Suara rerumputan yang diinjak Mina membuat lelaki itu tersadar bahwa ada orang lain selain dirinya. Ia berbalik. Mina terkejut. Ia tak percaya ini terjadi. Ia merasa ia bermimpi, namun ini semua bukan mimpi. Bibirnya bergetar dan siap untuk berteriak.
“MILOOOOOOOO!”
Emilo tersentak dan segera membungkam bibir gadis itu. Ia mendudukannya di rerumputan.
“Heh! Diem! Kalo semua orang tau gimana!” Emilo Panik. Gadis itu termangap-mangap. Ia melihat Emilo lagi dan berteriak kegirangan. Emilo semakin panic menoleh kekiri dan kekanan memeriksa apakah ada yang melihat mereka berdua. Gadis itu memeluknya erat sampai Emilo tak dapat bernapas.
“Emilo……!” celetuk gadis itu. Ia tak menyangka dapat bertemu apalagi sedekat ini dengan lelaki pujaannya.
“hei.. please lepasin!” Emilo mulai emosi. Gadis itu melepaskan pelukkannya dan tetap tersenyum terhadapnya. Mina memeriksa kantung celananya. Handphone-nya hilang!
Kenapa selalu begini!!!!
Bentaknya dalam hati. Ia baru saja bermaksud untuk foto bersama Emilo.
“kamu siapa?” tanya Emilo.
“kakak lupa sama aku? Aku Mina. Yang kemarin kasi kakak nomor telfon itu.”
“sorry?” Emilo memicingkan matanya.
“ya udahlah.. aku tau kakak pasti sibuk.. dan pasti nomor itu udah kebuang entah dimana.” Keceriaan gadis itu lenyap. Ia cemberut. Dan ia mulai merasakan sakit di lengannya. Ia melihatnya, dan ia baru menyadari bahwa tubuhnya penuh dengan tanah dan luka-luka ringan.
Pantas saja dia nggak kenal aku.
Wajahku penuh dengan tanah….
“lengan kamu kenapa?” tanya Emilo. Ada sedikit rasa peduli di benaknya. “kamu dari mana? Kenapa penampilan kamu kaya gini?”
“jatuh.” Mina menatap wajah Emilo—tidak dengan penuh harap kali ini. Selama beberapa saat. Posisi mereka tak berubah. Sampai akhirnya Emilo mendekatinya dan mulai membersihkan sisa-sisa tanah di tubuh gadis itu.
“kamu nggak apa-apa?” tanya Emilo.
“nggak apa-apa gimana?! Nih liat lukanya banyak banget!”
“ya salah sendiri.” Tak lama kemudian Emilo mendapat telfon dari asistennya.
“Milo, lo dimana?! Ini pak produser udah disini, lo harus kesini sekarang.”
“oke gue segera kesana.” Jawab Emilo. Ia segera membalikan badan. Namun ia baru sadar bahwa ada seorang gadis compang-camping disampingnya. Ia melihat gadis itu.
“bisa pulang sendiri kan? Dan satu lagi. Jangan pernah bilang ke siapa-siapa tentang pertemuan kita ini ya.” Emilo segera meninggalkannya.
“handphone-ku hilang.” Langkah Emilo terhenti saat mendengar jawaban gadis itu. “sepedaku rusak, aku nggak tau jalan pulang, aku nggak bawa uang. Dan aku sendirian.” Lanjut Mina. Emilo semaki pusing. Ia tak mungkin meninggalkan gadis ini sendiri ditempat seperti ini. Nama baiknya menjadi taruhan.
“oke..” ia agak ragu mengatakan hal ini. “kamu ikut aku.”
“Wuuaaaaaah” kata pertama yang keluar dari bibir Mina saat sampai di rumah milik Emilo. Emilo mengantarnya masuk kedalam rumah itu.
“kamu diam disini bentar ya. Aku ada urusan.” Emilo sedikit cemberut. Sedangkan gadis itu masih melihat sekeliling ruangan tempat itu. “kamu bisa dipercaya kan? Oya jangan sentuh barang apapun disini. Oke? Kamar mandi ada di sebelah kiri. Kamu bisa bersihin badan kamu disana dan didekat pintu ada kotak obat. Kamu bisa obatin luka kamu. Aku nggak ada waktu lagi, aku harus pergi.” Gadis itu mengangguk sekenanya. Emilo segera berlari keluar dan meninggalkan Mina. Gadis itu masih ternganga melihat kemewahan di rumah ini. Meskipun ia berasal dari keluarga yang berkecukupan, namun semua yang dimiliki Emilo ini lebih dari cukup. Semuanya mewah. Semua fasilitas di rumah itu mewah. Hasil dari kerja kerasnya. Ya. Mina tau itu. setelah membersihkan badannya dan mengobati lukanya, munculah akal liciknya untuk menyelinap ke ruangan-ruangan pribadi di rumah ini. Setelah lelah mengelilingi rumah ini, akhirnya ia berhasil menemukan kamar milik Emilo. Putih. Semuanya putih bersih dan rapi. Semua lengkap—sofa, tempat tidur, rak buku, ruang ganti dan tersedia kamar mandi. Mata gadis itu tertuju pada rak buku yang berada pas didepan matanya. Ia mendekatinya. Buku-buku itu tertata rapi sesuai nama judul bukunya. Rata-rata buku tentang kehidupan, biografi dan beberapa novel. Ia baru tau bahwa Emilo suka membaca buku. Sedangkan di sisi kirinya ada sebuah tempat tidur. Mungkin berukuran King—pikir Mina. Ia beralih kearah lain. Dan ia terkejut. Ia baru menyadari. Ada banyak gambar dan poster. Gambar Sandra! Model terkenal itu!! sama seperti ruangannya. Gambar-gambar itu tergantung rapi. Satu dinding penuh dengan gambar wanita itu. ada satu gambar yang membuat Mina tertarik. Gambar berwarna hitam-putih. Sandra seperti duduk di ruang makan. Ia membungkukan badannya kea rah meja dan memiringkan wajahnya. Di sampingnya ada sebuah mug. Ia tersenyum kearah kamera. Mina tersentuh dengan gambar itu. benar-benar mengeluarkan sisi kecantikannya. Semuanya natural. Senyumnya maupun gayanya. Ia memang benar-benar seorang wanita cantik. Benar-benar wanita yang anggun. Ia pantas menyandang nama SuperModel. Badannya memang indah.
Emilo baru saja sampai di depan rumahnya. Sudah pukul 05.00 sore. ia masuk ke dalam rumahnya. Ia takut gadis itu berbuat hal aneh dirumahnya. tapi dimana dia sekarang? ia mencarinya di ruang tamu, dapur, ruang keluarga, taman.. kamarnya. SIAL! Ia lupa mengunci kamarnya. Ia segera menuju kamarnya.
“ehem.” Mina tersentak dari lamunannya. Ia menoleh ke sumber suara. Emilo telah berdiri bersandar di pintu yang terbuka dengan tangan terlipat di dada. Ia terkejut. Namun tak diperlihatkannya. “tadi aku bilang apa?” gadis itu menatap Emilo yang terihat serius lalu tertunduk lesu.
“jangan menyentuh apapun di rumah ini.” Ia berjalan menuju sofa dan mendudukinya.
“ngapain kamu masuk kesini?” tanya Emilo datar. Ia tak memancarkan kemarahan. Wajahnya tetap tenang. Walaupun nada bicaranya sudah tak seperti biasanya.
“boleh donk! Kakak bilang, jangan sentuh barang apapun di rumah ini. Bukan jangan masuk ke ruangan ini. Dan aku nggak menyentuh satupun barang di rumah ini.” Kata Mina dengan nada yang mulai rendah. Tak seperti awal pertemuan mereka. Ia tak melihat lelaki itu dengan semangat sekarang.
“Ya. Tapi apa ada seorang tamu yang bisa masuk ke ruangan pribadi orang dengan seenaknya?” Nada bicara Emilo mulai keras. Namun gadis itu seolah tak melihat aura kemarahan di wajah Emilo. “apa sekarang kamu bisa keluar dari ruangan ini?” Mina menatapnya sejenak. Lalu bangkit dari duduknya dan berjalan keluar.
“Oh Come on… aku nggak bakal mencuri apapun disini. Aku punya uang.” Ia berjalan menuju ruang keluarga.
“aku nggak peduli. Kamu perlu diajarin sopan santun tau nggak.” Emilo mengikutinya dari belakang. Mina duduk di sofa tepat didepan TV plasma yang sangat lebar dan tipis. Ia tak ada waktu untuk menghitung berapa “in” TV itu. sesaat suasana menjadi sunyi. Emilo berjalan menuju dapur yang menjadi satu ruangan dengan ruang keluarga. Mungkin bisa dibilang dapur mini, dengan beberapa counter disana. Ia berniat membuat 2 gelas hot chocolate. Ia melihat langit mulai mendung. Dan udara menjadi dingin.
“jadi benar…kakak dan kak Sandra…” celetuk gadis itu. Emilo menghentikan kegiatannya. Ia melihat gadis itu. ia masih di posisi awalnya. Terduduk lesu memandang kearah taman—sama sekali tak memandangnya. Wajahnya lesu. Seperti merasa kecewa.
“apa?” tanya Emilo singkat.
“Kakak… dan Kak Sandra…” gadis itu terlihat ingin mengeluarkan suatu kata dari bibirnya. Namun hal itu sulit. Seolah ia tak ingin mendapat jawaban pasti dari pertanyaannya. “Pacaran?” lanjutnya. Akhirnya kata-kata itu keluar. Emilo sedikit tersentak. Ada suatu rasa didadanya saat mendengar kata-kata itu. ada rasa bahagia, tapi juga ada rasa sakit melihat dengan kenyataan. Ia mendekati gadis itu dengan membawa dua minuman buatannya. Ia meletakannya di meja di depan sofa dan duduk di samping Mina.
“Itu gossip.” Kata Emilo hampir berbisik. Hatinya mulai luluh. Rasa marahnya kini hilang melihat kepolosan gadis itu. gadis itu menoleh kearahnya. Setengah hati gadis itu merasa bahagia. Namun setengah hatinya lagi, ia tak tau merasakan apa.
“Terus, kenapa ada foto-foto itu?” Emilo tersenyum. Senyum itu begitu tulus, membuat rasa galau di hati gadis itu pudar.
“aku penggemar beratnya. Aku menyukai gayanya. Aku menyukai semua tentangnya.” Jelas Emilo yang menatap lurus kedepan. Dua gelas hot chocolate itu mulai menghangat.
“bukannya itu yang dinamakan ‘cinta’?” Mina terus menggali pertanyaan. Senyum lelaki itu kini kian melebar. Ia mulai menunduk.
“aku nggak tau. Yang aku tau. Aku penggemar beratnya. Sama seperti kamu. Kamu adalah penggemarku. Apa setiap penggemar selalu mempunyai rasa cinta terhadap idolanya?” Emilo mencoba memberikan penjelasan yang lebih detail.
“ya. Ku rasa.” Gadis itu mengatakannya dengan lantang, tapi dengan volume kecil. Emilo memperbaiki duduknya, dan meminum hot chocolate-nya.
“aku bersahabat dengan Sandra.” Celetuk Emilo setelah beberapa menit suasana membeku. “sejak SMA. Aku mengangguminya. Dan akhirnya aku bisa mendekatinya. Dan kita bersahabat. Hanya bersahabat.” Ia menekankan kalimat terakhirnya.
“ya..ya..” ujar Mina. Ia terlihat bosan dengan penyangkalan itu. “ini untuk aku?” tanya gadis itu saat melihat hot chocolate lezat itu.
“yup. Aku yakin lagi bentar pasti hujan.” Benar kata Emilo. Tak lama kemudian. Hujan turun dengan deras. “okay.. kamu benar-benar nggak tau jalan rumah kamu? Atau nomor telfon rumah kamu?”
“dirumahku nggak ada orang. Dan aku baru mau pulang kalo ujannya udah benar-benar selesai.” Gadis itu memantapkan kata-katanya.
Semoga hujan ini nggak pernah berhenti Tuhan…
Benaknya. Ia berusaha menyimpan perasaan bahagianya yang membayangkan tinggal disana untuk waktu yang lama. Emilo menghela nafasnya.
Semoga hujan ini cepat berhenti Tuhan..
Benak Emilo.
Sandra sedikit lelah dengan kegiatannya hari ini. Ada beberapa talkshow di sebuah stasiun televisi . Dan kini ia sedang menuju kea rah Bandung untuk interview di majalah tersukses di Indonesia untuk pertama kalinya, V magazine.
Ia panik. Ia sedikit telat sampai di tempat yang dituju. Sebenarnya bukan sedikit. Tapi sangat. Ia harus sampai disana pada pukul 05.00 sore dan sekarang jam di mobilnya sudah menunjukan pukul 05.30 sore dan ia masih berada di perjalanan. Ia menyalakan radio dari mobilnya. Dan ia tak menyangka. Suara yang ia kenal sedang mengalunkan melodi di radio itu. Ya. Emilo. Dengan lagu terbarunya. Sandra tersenyum sendiri.
Lumayan untuk mengusir kepanikan
Benaknya. Namun ia tetap tak bisa berdiam diri. Ia mulai mempercepat laju mobilnya.
“aku lapar.” Celetuk Mina tanpa basa-basi. Emilo sedang berada di taman saat itu. menerima telefon dari salah satu rekannya. Mina menghampirinya. Melihat gadis itu datang, Emilo segera mengecilkan suaranya dan mematikan handphone-nya.
“apa lagi?”
“aku lapar.” Mina mengulang kata-katanya.
Astaga gadis ini….
“oke, kita liat ada apa di dalam kulkas.”
“apa aja yang penting makan.” Gadis itu kembali seperti saat pertama kali bertemu dengan Emilo. Sedikit tak tau diri.
“aku nggak nyangka kakak bisa masak.” Mina menemani lelaki itu di dapur.
“itu yang banyak orang nggak tau.” Emilo mulai memotong beberapa sosis dan paprika. “pembantu aku Cuma kerja sampe jam 3 sore. nah kadang aku males keluar Cuma untuk makan. Jadi aku coba untuk belajar masak.” Jelas Emilo. Mina menatap Emilo dengan perasaan kagum. Sesaat ia melupakan masalah hubungan Emilo dengan Sandra.
Beberapa menit kemudian makanan itu akhirnya bisa dihidangkan. Mina menatap aneh ke makanan itu.
“yakin ini bisa dimakan?” ujarnya. rasa kagumnya hilang secepat hilangnya senyuman Emilo saat mendengar kata-kata Mina.
“kamu yang bilang, apa aja yang penting makan.” Kata Emilo sambil mengikuti gaya Mina saat mengatakannya.
Akhirnya Sandra sampai di tempat interview. Ia melihat jam tangannya—pukul 06.00. ia segera memasuki gedung itu. sedikit berlari.
“mana nih?! Katanya model professional! Mana buktinya?? Buat interview di Indo aja kaya gini!” lelaki itu terlihat emosi dan memaki-maki orang-orang yang ada di ruangan itu. tak lama kemudian salah satu sekertaris masuk kedalam ruangan itu, mengatakan bahwa tamu yang ditunggu-tunggu itu telah tiba.
“maaf.. saya telat.” Ujar Sandra saat masuk ke dalam ruangan terbuka itu. senyum memancar dari bibirnya.
“maaf?” kata lelaki itu. “kita janjian jam berapa?” Sandra terdiam. Terkejut dengan kata-kata lelaki itu. senyumnya lenyap. “liat sekarang jam berapa?! Kamu model terkenal kan? Kamu model professional kan? Untuk interview gini aja kamu udah telat 1 jam. Gimana nanti?!!” suasana menjadi kaku. Tak ada orang lagi di ruangan itu kecuali mereka berdua. Sandra merasa hatinya dicabik-cabik.
“sorry…”
“sorry?” kalimat yang Sandra katakana terpotong dengan emosi lelaki itu. “kamu pikir saya babu kamu yang setia nunggu kamu sampe 1 jam? V magazine bukan majalah murahan seperti yang lainnya. Dan kami bukan orang-orang bodoh yang mau menunggu seorang artis hanya untuk interview.” Lelaki itu menatapnya tegas. Sandra hampir tak dapat mengatakan apa-apa. matanya berkaca-kaca. Bibir bergetar ingin mengeluarkan sesuatu.
“Sorry, saya telat, karena ada beberapa talkshow dan macet. Jadi tolong agar anda bisa menghargai seorang artis yang akan anda interview karena saya juga bukan artis murahan. Tolong agar anda mengerti bahwa menjadi seorang artis itu nggak mudah. Buka pikiran anda!” Ia menatap lelaki itu pedas. Badannya bergetar memancarkan emosi yang memuncak. Tanpa basa-basi lagi, ia keluar dari ruangan itu dengan tangan hampa. Keinginananya tentang interview di majalah bergengsi ini lenyap sudah karena lelaki itu. Ia keluar dari gedung itu. Masuk ke dalam mobilnya. Dan kembali menuju Jakarta.
Untuk pertama kalinya ia dicaci-maki oleh seorang lelaki yang baru ia kenal, bahkan yang tak ia kenal. Hatinya sakit. Lebih sakit dari saat ia memutuskan seorang lelaki. Ia merasa seolah kariernya hancur. Ia merasa seperti artis junior yang baru saja mencoba untuk meraih impian. Ia segera menelfon managernya dan mengatakan semua kejadian itu. managernya sedang sakit. Karena itulah yang datang ke tempat itu hanya dirinya.
“apa yang kamu lakukan?!” wanita itu terlihat berang. Di sekitar wajahnya mulai terlihat kerutan. Tapi tak menghilangkan keagungannya. Ialah pemilik V magazine. Dan ia baru saja dihubungi oleh pihak Sandra bahwa clien-nya tak diperlakukan dengan baik disana. Ia menatap lelaki itu.
“artis itu perlu dikasi pelajaran, Ma.. supaya jangan seenaknya dan nganggep kita ini pembantunya.” Lelaki itu duduk di sofa di ruangan wanita setengah-baya itu.
“dia itu SuperModel di Asia, dan kamu bentak-bentak dia?”
“SuperModel? Cewek kaya dia?”
“Vano, dia itu artis! Dan Mama yakin, penjualan majalah kita akan lebih meningkat lagi jika menggunakan dia sebagai cover untuk edisi bulan depan!” wanita itu meletakannya kedua tangannya di atas mejanya. Wajahnya serius.
“apa nggak bisa pake artis lain?! Dia itu udah out dari sini.” Jawab Lelaki yang dipanggil Vano itu enteng.
“bagaimanapun caranya., kamu harus cari Sandra dan kamu buat agar dia mau masuk ke tempat ini lagi! Kalau sampai bulan depan kamu nggak bisa bawa gadis itu kesini, mama akan pecat kamu dari perusahaan ini.” Vano tersentak. Ia baru merasakan kegelisahan.
“sebegitu berharganya gadis itu sampai mama mau pecat aku cuma karena dia??”
“ya!” jawab wanita itu singkat.
Mina mulai bosan berada di rumah Emilo. Ia sudah mengelilingi rumah ini 3 kali. Emilo sedang sibuk membuat beberapa instrument untuk lagunya melalui laptop. Ia melihat Mina mulai mendekati pianonya. Mina duduk di depan piano. Dengan gaya lesu, mulai menekan tuts demi tuts dengan sembarang—ia payah dalam memainkan piano. Emilo mendekatinya.
“heeeeei.. bukan begitu caranya..” emilo duduk disampingnya. Ia mulai memamerkan keahliannya memainkan Piano. Rasa kagum Mina timbul lagi. Ia menatap wajah Emilo yang serius memainkan pianonya. Memejamkan matanya seoalah menikmati tarian jari-jarinya di atas tuts piano. Mina tersenyum. Bukan senyum mengejek. Tapi senyum yang benar-benar spontan. Ia tak menyadarinya. Tiba-tiba jantungnya berdetak lebih cepat. Tanpa ia sadari. Ada sesuatu yang membuatnya nyaman disamping lelaki itu. tak ada sungkan lagi antara keduanya.
“hidupku adalah musik. Ini semua adalah impianku dan aku mendapatkannya.” Emilo menghentikan permainan pianonya. “aku selalu ingin menampilkan yang terbaik untuk penggemarku. Semua lagu-laguku terinspirasi dari kalian.” Kata-kata itu membuat hati Mina tersentuh. Dan ia mulai tertarik dengan kehidupan Emilo.
“aku tau. Kakak memang pantas dapetin semuanya. Kakak bukan hanya hebat di layar kaca aja. Tapi kakak juga hebat dikehidupan yang nyata.” Kata-katanya jujur. Murni dari lubuk hatinya.
“aku rasa nggak.” Emilo bangkit dari duduknya berjalan perlahan menuju pintu kaca bergaya slide untuk menuju taman. Langit sudah gelap.
“apa?” Mina menyusulnya.
“kamu salah. Di kehidupan yang nyata, aku bukan apa-apa. aku orang biasa.” Emilo menyandarkan lengannya di sisi pintu.
“siapa bilang?” mina berjalan ke hadapan lelaki itu.
“aku, hatiku dan diriku sendiri.” Emilo mengarahkan telunjuknya kearah dadanya sendiri. Ia menatap mata Mina. Mina menghela nafasnya.
“kakak harus ngerubah anggapan itu. ikut aku.” Ia menarik Emilo kearah kaca besar di ruang keluarga. “look.” Emilo menatap dirinya di depan kaca. “kakak itu perfect! Kakak nggak kekurangan sedikitpun. Wajah, suara, harta, semua udah kakak punya.” Mina berusaha menyemangati idolanya. Emilo terdiam. Mencoba meresapi kalimat demi kalimat yang dituturkan Mina.
“kaca.” Celetuknya. “aku suka berkaca.” Ia menoleh kea rah Mina. “karena dari kaca, aku bisa mengetahui kekurangan dan kelebihanku. Dan aku bisa memperbaiki kekuranganku.” Ia tersenyum. “satu-satunya waktu disaat kita benar-benar jujur adalah disaat kita tertidur.” Mina tersenyum.
“dan selain semua yang kakak miliki, kakak juga selalu mempunyai kata-kata yang indah.” Rayu Mina.
“ah., berhenti merayuku. Aku tetap orang biasa. Seperti kamu.” Mereka saling bertatapan—tanpa sadar. “aku harus mengerjakan tugasku.” Emilo menjauh dari Mina. Ia kembali berkutik dengan laptopnya. Sesaat Mina memikirkan tentang Rio. Sampai akhirnya ia tertidur di sofa.
Pagi mulai memunculkan wujudnya. Cahaya matahari menyergap mata Mina. Ia terbangun dari tidurnya namun tetap berada di tempat tidurnya. Tempat tidur itu terlalu nyaman untukknya sampai-sampai ia tak ingin beranjak dari sana. Ada sebuah meja di samping tempat tidurnya. Ia melihat segelas susu yang masih panas di atasnya. Ia tersenyum sendiri dan beberapa detik kemudian meminum susu itu. ia beranjak dari tempat tidurnya. Membuka tirai jendela dan merasakan hangatnya matahari. Ia keluar dari kamar itu. ia melihat Emilo, dengan celana jeans dan Jaket hitam ketat yang menutupi seluruh badannya. Ia sedang membuat nasi goreng untuk sarapan mereka. Berbeda jauh dengan penampilan Mina yang berantakan.
“cepat mandi. Makan. Dan aku akan anterin kamu pulang. ini udah jam 9. Aku udah harus ada di studio jam 10.30.. so, hurry up.” Ujarnya datar. Sifat penyuruhnya mulai keluar, pikir Mina yang baru saja ingin tersenyum pada lelaki itu.
Mereka sampai di depan rumah Mina. Namun keduanya tetap tak bergeming.
“makasi buat semuanya, kak.” Celetuk Mina. Ia menunduk. Emilo menatapnya—tetap dengan wajah tenangnya. Ia tersenyum.
“ya. Makasi juga udah buat aku sibuk.” Candanya. “sekarang kita udah sampe di depan rumah kamu.” Mina menoleh ke arahnya.
“boleh aku.. minta pelukan?” ia memberanikan diri untuk mengatakannya. Emilo menatapnya—tak ada ekspresi. Mina merasa permintaannya terlalu agresif. Ia malu. Dan akhirnya ia memilih untuk keluar dari mobil mewah itu. namun belum sempat ia membuka pintunya, kedua tangan Emilo memeluknya. Mina terkejut. Ia merasakan getaran itu lagi. Nafasnya sesak. Seolah ada sejuta gejolak di dalam dadanya.
“bagaimanapun kamu, kamu tetap penggemarku. Bagian dari hidupku.” Mina berbalik kea rah Emilo dan membalas pelukannya—erat. Ia tau, mungkin kali ini adalah terakhir kalinya ia dapat memeluk dan menyentuh idolanya dalam bentuk nyata. Ia melepas pelukannya. Matanya sedikit berair. Ia melihat wajah Emilo untuk terakhir kalinya, lalu keluar dari mobil itu. beberapa langkah sebelum ia masuk kedalam rumahnya, ia berbalik berharap mobil itu bersama pemiliknya masih menunggunya. Dan ternyata benar. Ia masih disana, dan melambaikan tangan untuknya. Mina tersenyum malu. Ia membalas lambaian tangan Emilo dan segera masuk kedalam rumahnya. Namun belum sempat ia memasukan kunci ke pintu rumahnya, ia terkejut. Seorang lelaki tertidur di Teras rumahnya yang tertutup. Ia hampir saja tak melihatnya. Dia adalah Rio. Ia menghampirinya dan membangunkannya. Menggoyang-goyangkan tangannya, kakinya dan sampai menampar wajahnya. Rio terbangun karena terkejut.
“kamu dari mana aja?” ujarnya yang masih setengah sadar. Ia membersihkan matanya.
“kamu ngapain disini?” Mina membantunya bangkit.
“aku nungguin kamu. Aku tau kamu masih marah sama masalah kemarin.” Mina terdiam ia masuk kedalam rumahnya bersama Rio.
“kemarin aku jatuh dari sepeda. Handphone-ku hilang nggak tau jatuh kemana.” Mina berjalan menuju ruang makan untuk membuatkan Rio minuman.
“hah? Jatuh??!” tanya Rio cemas. Ia mengikuti Mina dari belakang.
“ya. Dan aku bertemu dengan…” ia memberikan minuman itu pada Rio yang duduk di meja makan. Ia menyusulnya duduk.
“dengan?” tanya Rio penasaran.
“aku ketemu Emilo!”
“Emilo? Artis itu?!”
“iya!” wajah Mina mulai cerah. Ia tersenyum bangga dan matanya menerawang.
Jadi waktu aku susah payah nunggu dia di depan rumahnya, dia sedang asyik dengan lelaki itu???
Benak Rio. Sebenarnya kata-kata itu ingin dikeluarkannya. Namun ia tak mau berdebat lagi dengan Mina. Melihatnya tersenyum lagi saja sudah sangat menyenangkan hatinya. Ia tak ingin kehilangannya. Walaupun sebagian besar hubungan mereka diwarnai dengan perselisihan. Di tengah cerita-cerita Mina tentang pengalamannya dengan Emilo, Rio tersenyum. Walaupun hatinya sangat sakit karena cemburu.
Pukul 11.00 pagi—Sandra telah siap untuk pergi. Pergi mengunjungi rekan sesama modelnya. Ia ingin mengabarkan bahwa ia baru saja pulang. Ia tak ingin lagi memikirkan kejadian yang kemarin. Ia tau mungkin bukan takdirnya untuk bisa ada di dalam majalah itu. ia mengambil tasnya dan bersiap untuk pergi. Baru saja ia keluar dari gedung apartemennya, seorang lelaki menghadangnya. Lelaki itu tersenyum padanya. Sejenak Sandra tak mengenalnya dan berusaha memberikan senyum ramah. Namun beberapa langkah setelah itu, ia mengingatnya. Ia mengingat lelaki itu. lelaki yang memakinya kemarin malam. Lelaki yang membuatnya emosi. Lelaki yang membuatnya enggan memasuki gedung V magazine itu lagi.
“mau apa kamu?” tanyanya ketus. Senyum ramahnya hilang. Lelaki itu tersenyum semanis mungkin—ingin merubah suasana hati Sandra.
“aku.., oke. Saya mau… e minta maaf buat yang kemarin..” lelaki itu menatap Sandra dengan sikap bodoh.
“oke.” Jawab Sandra singkat.
“apa?”
“oke. Saya udah maafin.” Sandra melanjutkan langkahnya meninggalkan lelaki itu. namun dengan cepat lelaki itu menahannya.
“tunggu Sandra, ada yang mau aku omongin.”
“Sorry mas, saya lagi buru-buru.” Ujar Sandra yang tak ingin melihat lelaki itu. ia sudah muak dengan tingkahnya.
“saya mau kamu datang ke V magazine lagi.” Sandra terkejut. Tak menyangka lelaki itu bisa mengatakan hal itu.
“kamu mau saya datang ke V magazine lagi setelah kamu buat saya malu dengan kata-kata kamu?” Sandra mulai emosi lagi.
“sorry. Sorry banget. Tapi kami benar-benar butuh kamu untuk menjadi sampul V magazine bulan depan.” Lelaki itu menyatukan tanganya di dada dan menundukan kepalanya seperti orang berdoa kearah Sandra. Seolah seluruh hidupnya berada di tangan Sandra.
“sorry. Saya udah nggak minat lagi bisa ada di majalah itu. kamu sendiri kan yang bilang ‘V magazine bukan majalah murahan yang mau mengemis pada artis-artis untuk di interview’?” kini lelaki itu harus menelan ludahnya sendiri. Ia tak dapat berkata apa-apa lagi. Sandra melangkah lebih cepat meninggalkan lelaki itu. ia masuk kedalam mobilnya dan menjalankannya menuju tempat yang sudah dipesannya.
Sandra keluar dari café itu. ia sudah berpisah dengan temannya. Ia masuk ke dalam mobilnya dan bermaksud untuk menemui managernya yang sedang sakit. Baru saja ia mengetuk pintu rumah managernya, sebuah tangan mengenggam lengannya. Sandra menoleh.
“Kamu lag?!” lelaki itu mengikuti Sandra. Sandra menatapnya sinis.
“saya Cuma mau kamu di interview lagi. Itu aja.” Ujar lelaki itu dengan wajah iba.
“saya udah bilang. Saya udah nggak niat lagi. Ya udah. Jangan ikutin saya lagi!” sesaat kemudian pintu terbuka dan Maya, managernya terkejut melihat lelaki itu.
“Sandra?”
“Maya.” Jawab Sandra.
“Mbak Maya, tolong rayu Sandra supaya mau di interview di V magazine lagi mbak.” Pinta Lelaki itu. Maya menghela nafasnya.
“kalian berdua, masuk.” Ia mempersilahkan mereka berdua masuk. Ruangan itu tak terlalu luas. Cukup untuk satu set sofa dan meja, namun tetap terlihat berkelas. Mereka duduk disana.
“Tolong mbak, kalo dia nggak jadi sampul majalah V magazine edisi bulan depan. Aku bakal dipecat.” Rayu Lelaki itu.
“dipecat?” Maya terkejut. Ia menatap lelaki itu. ya. Wajahnya serius. Maya tertawa.
“bagus.” Celetuk Sandra. “itu balasan yang pas.”
“heh! Ini masalah karier saya.” Lelaki itu mulai Emosi. Tawa Maya semakin menjadi, namun ia tetap mencoba menenangkan perseteruan antara Sandra dan Lelaki itu.
“Sandra, kamu yang bilang sendiri kan, kamu pengen banget masuk di V magazine.” Maya mencoba menarik Sandra.
“tapi mbak, dia…” Sandra menggeram.
“dia datang kesini. Dan minta maaf sama kamu.” Maya melanjutkan kata-kata Sandra yang sebenarnya bukan seperti itu. “dan dia ngajak kamu kembali.” Lelaki itu tersenyum bangga. Mencoba merayu Sandra. Sandra berfikir sejenak. Ia tak menyangka Maya bisa mengatakan hal seperti itu. namun jauh didalam lubuk hatinya, ia memang masih ingin ada di majalah itu.
“oke. Saya akan pikirin dulu.” Jawab Sandra sedikit terpaksa. Lelaki itu tersenyum—hampir tertawa.
“oke. Ini kartu nama saya. Kamu bisa hubungi saya kapan aja.” Lelaki itu memegang tangan Sandra dan memerikannya sebuah kartu nama. Sandra masih dendam dengan lelaki ini. “oh. Saya harus pergi. Ada acara mendadak di V magazine.” Lelaki itu segera pergi. Sedangkan Maya dan Sandra menatapnya aneh.
“orang yang aneh.” Gerutu Sandra. Maya tertawa. “kemarin dia bentak-bentak aku dan sekarang dia ngerayu aku supaya mau masuk ke V magazine lagi.” Ada sedikit sunggingan senyum di bibirnya.
“kamu tau siapa dia?” tanya Maya yang masih sedikit mengeluarkan tawa.
“dia orang interview kan? Dia jurnalis yang mau wawancara aku kemarin.” Jelas Sandra. Maya tertawa lagi.
“kamu tau siapa sebenarnya dia?” Maya mendekatkan wajahnya ke kepala Sandra. Sandra tak mengerti maksud Maya. Ia mengerutkan keningnya. “dia Devano. Anak pemilik perusahaan V magazine.” Jelas Maya bangga.
“hah?? Dia? Orang kayak dia??” Sandra masih tak percaya.
“ya! Dia memang kerja jadi jurnalis di perusahaannya sendiri.” Maya berhenti tertawa lalu menyunggingkan senyuman.
“pantes aja gayanya selangit.” Gerutu Sandra.
“kemarin aku telfon ibunya. Dan dia kaget. Dia pengen banget kamu ada di majalahnya. Tapi anaknya udah buat kesalahan.”
“seorang pemilik V magazine menginginkan aku ada di majalahnya?” Sandra bergumam tak percaya. Lalu tersenyum bangga.
“makanya aku ketawa waktu dia bilang ‘bakal dipecat’” Maya tertawa lagi mengingat kejadian itu. Sandra ikut tertawa.
Emilo sampai dirumahnya. sore telah menjelma. Ia merebahkan dirinya di sofa. Tiba-tiba rumah ini menjadi sunyi. Tak seperti kemarin yang penuh kegaduhan. Oh.. ia merindukan gadis itu. kini ia kembali menyendiri ditengah kemewahan yang ia miliki. Ia beralih ke pianonya. Ia mencoba memainkannya. Namun bayangan gadis itu mulai terbayang lagi saat ada disampingnya. Tidak. Ia tidak memiliki rasa itu pada Mina. Ia harus melupakannya. Mina hanya seorang penggemarnya. Ia tak pantas untuk dilukai. Walaupun ia masih mengharapkan wanita itu. wanita yang hampir membuatnya gila. Wanita yang membuatnya sabar menunggu hingga bertahun-tahun. Namun ia masih saja tak mampu mengatakannya. Ia selalu terlihat seperti orang bodoh saat wanita itu menatapnya. Dan akan selalu berakhir dengan tertawa. Menekan tuts terakhir. Dan ia terdiam. Mengingat bagaimana saat pertama kali ia masuk kedalam rumah ini 2 tahun yang lalu. Saat itu album pertamanya sukses besar dan ia dikenal dimana-mana. Akhirnya ia dapat membeli rumah mewah ini. Ia bersyukur. Saat itu Sandralah yang mengantarnya ke rumah ini. Membantunya membersihkan rumah ini dan merenovasinya. Itu adalah saat-saat yang menyenangkan. Saat-saat perasaan itu tumbuh lagi setelah lama terpendam di lubuk hatinya. ia beralih ke sebuah kaca besar tempat ia berkaca dengan Mina.
Apakah aku mampu?
Ujarnya, berkata dengan dirinya sendiri.
Aku hanya menginginkanmu.. Sandra.
Ia menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Ia mencoba untuk menenangkan hatinya yang menggebu.
Aku harus mengatakannya. Sebelum semuanya terlambat.
Sandra sampai di depan gedung V magazine yang megah bersama managernya. Ia tak percaya akan kembali ke tempat seseorang pernah mencoreng namanya. Setelah Maya berbicara dengan pejangga loby, mereka segera ke ruangan Devano.
“thanks for coming, ladies!” serunya saat mereka sampai di ruangan lelaki itu. Sandra dan Maya dipersilahkan duduk dan mereka memulai sesi tanya jawab. Semuanya berjalan lancar. Namun wawancara kali ini, tak hanya sampai disini. Besok mereka akan melanjutkan wawancara di tempat yang lebih terbuka dan lebih santai.
Sehari tanpa Milo, serasa mati bagi Mina. Ia mulai memainkan lagu-lagunya dari mp3. Tak seperti yang lain. Ia bukanlah penggemar musiman yang hanya memuja idolanya saat ia ada di puncak kepopuleran, namun juga saat idolanya terjatuh karena tersandung masalah. Itu semua terbukti saat Emilo tersandung masalah pembajakan lagu. Mina tetap membelanya. Ia mempunyai seluruh album milik Emilo berapapun harganya. Ia selalu membeli majalah-majalah yang meliput tentang Emilo. Bahkan biografi-biografi dan foto-foto serta video Emilo. Semuanya telah ia miliki. Dan ia masih tak puas. Ia ingin bertemu lelaki itu sekali lagi dan memeluknya sekali lagi. Ia masih ingat saat Emilo merasa bahwa dirinya bukan orang yang sempurna. Ia merasa iba dengan lelaki itu. ditengah kepopulerannya, ia masih tetap seorang penyendiri yang selalu rendah hati. Ia bangga menjadi penggemarnya. Emilo menyebut penggemarnya little stars—bintang-bintang kecil yang nantinya akan menjadi bintang besar.
“kalian semua adalah superstar!” seru Emilo disela konser tunggalnya setahun yang lalu. Mina tak dapat melupakan kata-kata itu. “makasi udah mau dateng ke konser ini. Makasi udah mau beli tiket konser saya. Dan makasi udah buat saya menjadi diri saya sendiri.” konser itu mendadak sunyi. Ini saat-saat dramatis dari konser tunggal Emilo. “karena kalian udah berperan dalam hidup saya. Kalian.. kalian yang membuat saya bisa membuat konser seperti ini. Kalian yang membuat saya dikenal banyak orang. Dan saya nggak mau buat uang kalian sia-sia. Saya akan memberikan yang terbaik malam ini. And this is it, lagu yang merubah hidup saya.” Musik dimulai dan para little stars mulai berteriak histeris.
Mina tersenyum mengingat masa-masa itu. Emilo, adalah seorang artis berbakat. Bukan hanya di bidang musik, tapi juga modeling. Tak jarang ia menjadi model di majalah-majalah terkenal seperti V magazine. Ia selalu mempunyai kata-kata indah yang dirangkai sebegitu sempurna seperti dirinya.
Mina melihat jam di dinding kamarnya—pukul 06.00. ia mematikan mp3 playernya segera mandi. Hari ini ia berkencan dengan Rio. Hubungan mereka mulai membaik sepulang Mina dari rumah Emilo.
Siang yang cerah namun tetap melelehkan setiap keringat di tubuh orang-orang. Sandra sedang berjalan mencari sebuah café yang menjadi tempat interview-nya bersama Devano. Maya tak ada di sampingnya. Penyakitnya kumat lagi. Ia melangkahkan kakinya ke arah seorang lelaki yang melambaikan tangan ke arahnya.
“siang yang panas.” Sambutnya. Devano memberikannya segelas cocktail. Sandra meraihnya dan duduk di depan lelaki itu. Devano menggunakan kacamata hitam dengan setelan pakaian santai seperti sedang berada di Bali. Tak seperti jurnalis pada umumnya. Ia bersikap sangat santai. Apakah karena ia seorang anak pemilik V magazine? Sandra tak ingin mencari jawaban dari pertanyaannya.
“Kamu suka pantai Sandra?” Devano memulai pertanyaannya.
“ya. Suka banget.” Senyum Sandra tersungging. Ia mulai tertarik dengan wawancara ini. “aku suka banget ombak dan angin di pantai. yang membuat rambutku melayang. Aku menyukai sensasi itu. disaat tiduran di tengah terik matahari dengan sun glass dan sun block.”
“kamu bisa berselancar?”
“berselancar? Ya nggak lah. Tapi aku pernah belajar, tapi nggak bisa-bisa. Akhirnya karena bosen, aku berhenti.”
“okeei.. sekarang tentang sesuatu yang lebih pribadi.” Devano memeriksa daftar pertanyaannya. Sandra sudah tau tentang hal ini. “bagaimana dengan hubungan kamu sama Emilo? Penyanyi terkenal itu. apa benar-benar ada something antara kalian??” Devano mengangkat kedua telunjuk dan jari tengahnya membentuk tanda petik. Sandra tersenyum.
“itu nggak bener. Aku dan Emilo Cuma berteman. Kita emang temenan dari SMA dan kebetulan satu profesi di dunia hiburan. Dan hubungan kita emang deket dari SMA. Tapi kita nggak pacaran.”
“Sandra, aku harus ikutin kemanapun kamu pergi untuk besok. Aku harus ngambil gambar kamu saat jalan di catwalk dan pemotretan juga kegiatan kamu sehari-hari.” Jelas Devano. “bisa kan?” lelaki ini mulai serius dan menyenangkan.
“oke. No problem. Yang penting nggak macem-macem aja.” Jawab Sandra.
Hari demi hari mulai di lewati Sandra bersama Devano. Ia mulai menyukai lelaki ini dan membuang semua kebenciannya. Bahkan karena lelaki ini, ia dapat bertemu dengan pemilik V magazine yang tak lain adalah ibu Devano. Sampai akhirnya Devano memberikan sikap yang berbeda untuknya. Sikapnya mulai lembut dan selalu tersenyum saat melihat Sandra. Sampai akhirnya semua interview itu selesai. Dan ia kehilangan Devano. Setelah pemotretan terakhir, mereka tak pernah bertemu lagi. Dan ia merasa tak biasa berada sendiri tanpa ditemani Devano lagi. Namun ia harus membiasakannya. Devano bukan siapa-siapa. Buka seseorang yang pernah ada di hatinya. untuk apa ia harus merindukannya?
Ia mengunjungi Emilo di studio rekamannya. Lelaki itu tersenyum saat ia melihat Sandra mendekatinya.
“tumben kesini?” Tanya Emilo.
“aku kangen suara kamu.” Rayu Sandra. Mereka tertawa.
“dasar super model… aku bisa kasi kamu puluhan albumku supaya bisa denger suaraku.”
“tapi aku mau yang live.” Ujar Sandra sambil melihat-lihat album baru Emilo.
“gini deh.. orang yang nggak mau rugi. Makanya nonton konserku yang kemaren.” Canda Emilo.
“kalo aku ada di Indo aku bakal berdiri paling depan di konser kamu tau nggak. Tapi kan aku masih di Jepang waktu itu.” jelas Sandra sedikit serius. Ia tak ingin menyakiti sahabatnya, walaupun sahabatnya tak merasakan sakit.
“oke-oke.. super model.” Emilo selalu memanggilnya seperti itu. dan Sandra selalu memanggilnya Superstar. Pasangan yang serasi namun tak nyata. Emilo ingin menjadikan semuanya nyata. “ada yang mau aku omongin.” Celetuknya setelah lama terdiam.
“what?” Sandra menjawab acuh tak acuh.
“tapi nggak disini. Aku tunggu kamu di pantai. untuk jam dan hari. Aku bakal SMS kamu.” Tak lama kemudian Emilo melanjutkan take vocal-nya. Dan Sandra meninggalkannya karena ada urusan mendadak.
Sandra sampai didepan apartemennya. Ia hampir tak melihat sebuah surat di bawah pintu. Ia memunggutnya dan masuk kedalam ruangan.
Makasi buat semuanya.
Besok sore jam 5 di pantai. Ada kejutan buat kamu.
Aku cuma mau berterima kasih.
Tak ada tanda nama. Sandra berfikir, ini pasti dari Emilo.
Pukul 5 sore kurang, Sandra telah sampai di pantai. ia menoleh ke kiri dan ke kanan.
“mbak Sandra?” seorang pelayan menegurnya. “disebelah sana mbak.” Sandra tersenyum dan segera menuju kearah yang ditunjuk pelayan itu. ia sampai di tempat. Putih dan dan sedikit merah jambu. Hampir semua yang ia lihat semua berwarna seperti itu. ada dua kursi di dekat pantai—berwarna putih. Dan ia beralih kearah seorang lelaki bertubuh tegap yang memunggunginya. Ia hampir saja menegurnya saat lelaki itu mulai berbalik ke arahnya. Sandra terkejut. Dia bukan Emilo! Dia Devano!
“kamu?” Sandra memekik. Lelaki itu tersenyum. Penampilannya sangat berbeda dari yang kemarin. Ia mengenakan kemeja putih dengan celana yang selaras dengan kemejanya. Ia terlihat lebih menarik.
“ya. Aku hanya mau berterima kasih untuk semuanya.” Devano mempersilahkannya duduk. Awalnya, Sandra ingin meninggalkan lelaki ini. Namun mengingat ia adalah anak dari pemilik V magazine yang terkemuka itu, ia mengurungkan niatnya dan menuruti kemauan Devano. Lelaki itu menuangkan segelas wine untuk Sandra. Romantis. Sandra hampir merasakannya tak memikirkan kata itu untuk saat itu. dalam benak Devano, ia memang menyimpan perasaan untuk Sandra. Saat terakhir melihatnya, ia merasakan hal aneh. Ia menyukai setiap ekspresi dari wanita itu.
“um.. soal interview itu?” celetuk Sandra. Devano menatapnya.
“Penjualan majalah untuk bulan ini meningkat.” Sandra tersenyum. Ia mulai menyukai lelaki ini. Ia menyukai ekspresinya saat mengatakan hal itu. ia terlihat benar-benar serius namun tetap memberikan senyuman. “ itu pasti karena kamu. Thanks buat semuanya.” Hidanganpun datang dan mereka menyantapnya. Sandra sangat terkejut dengan semua ini. Ia tak menyangka Devano bisa se-romantis ini.
“Sandra?” Devano menyebut nama wanita itu. Sandra menoleh dan menatapnya. Devano menggenggam kedua tangan Sandra. “aku suka kamu Sand, aku baru sadar. Aku cinta kamu.” Ia meremas tangan Sandra. Sandra terkejut dengan semuanya. Ini terlalu cepat baginya. Namun jauh didalam lubuh hatinya yang paling dalam, ia menyukai lelaki itu. “So?” lelaki itu meminta jawaban. Sandra menghela nafasnya dan menjawab. Ia yakin akan ada perubahan setelah ini.
“I love you too.. Devano.” Devano menatap Sandra terkejut. Tak menyangka ia akan diterima. Tak menyangka ia diterima oleh wanita yang pernah ia bentak dan caci maki. Ia masih menggenggam tangan Sandra.
“thank you Sandra..” mereka tersenyum. Mereka jatuh cinta.
Namun jauh dari tempat mereka bermesraan, Emilo melihat semuanya. Emilo melihat tangan Sandra di genggam lelaki itu. Emilo melihat Sandra tersenyum kepada lelaki itu. hatinya hancur. Ia baru saja duduk di tempat ia akan menunggu Sandra di pantai yang sama. Untuk mengatakan perasaannya. Untuk mengatakan isi hatinya selama ini. Namun semua terlambat. Semuanya tak seperti yang diharapkannya. Wanita itu boleh menolaknya. Tapi Sandra sedang berkencan di saat ia harus mendatangi ajakan Emilo. Ia telah menghubungi Sandra. Namun tak ada balasan. Ia pikir Sandra pasti sudah membacanya. Namun semua pikirannya salah.
Kenapa aku menjadi sangat bodoh??!
Ia hampir memecahkan gelas wine yang ada di restoran dekat pantai itu. ia melihat pasangan kekasih itu kini berdansa di tengah alunan music yang merdu.
Seharusnya aku yang memeluknya
Seharusnya aku yang ada disana!
Emilo keluar dari restoran itu. ia terus berlari melewati mobilnya. Ia sedang tak ingin menaikinya saat ini. Ia hanya ingin berlari, entah kemana kakinya akan membawanya. Ia hanya ingin menenangkan hatinya.
Mina sedang berjalan sendiri. baru saja menikmati Sunset seorang diri. Rio sedang sibuk dengan kuliahnya. Ia tak ingin mengganggu kekasihnya. Ia hanya ingin udara segar. Ia sedang berjalan untuk pulang. Menunggu taksi yang telah dihubunginya. Namun ia terkejut saat ia melihat seorang lelaki berjalan ke arahnya. Ia menyipitkan matanya. Ia tau lelaki bertubuh tegap ini. Ia tau cara berjalan orang ini. Emilo! ia menghampirinya.
“kak Milo?” ia sedikit berteriak. Lelaki itu berjalan lesu ke arahnya. Ia tau gadis itu. namun ekspresi wajahnya tetap datar dengan serius. Ia berjalan mendekati gadis itu. tetes keringatnya berjatuhan. Ia terbakar emosi. Mina sedikit terkejut melihat penampilan lelaki itu. Emilo terus mendekatinya dan tanpa basa basi memeluknya. Mina semakin terkejut. Namun ia menyukainya. Ia menyukai pelukan lelaki itu. ia membalas pelukannya. Tanpa sadar, Emilo mengeluarkan air mata. “kakak nangis?” Mina menatapnya. Milo mencoba mengacuhkan pandangan gadis itu dan tetap memeluknya. Tak ada yang dapat ia percaya kecuali Mina. Ia sangat perlu memeluk seseorang. Dan gadis itu sedang ada bersamanya saat ini.
“kakak nggak apa-apa?” tanya Mina saat berada di Mobil Emilo. lelaki itu mengajaknya pergi. Ia sedang butuh wanita saat ini. Untuk mengobati lukanya terhadap Sandra. Mereka sampai di rumah Mina. Emilo masih terlihat sedih. Ia tak seperti biasanya. Mina menutup pintu rumahnya.
“duduk kak.” Ujar Mina yang segera meninggalkan Emilo. Emilo duduk. Ia masih terguncang. Tak habis pikir dengan apa yang ia lihat beberapa jam yang lalu. Tak lama kemudian Mina datang membawa secangkir hot chocolate. “tadi di luar dingin, aku tau kakak pasti suka ini.” Mina duduk disampingnya. Emilo memang menyukai hot chocolate. Namun ia tak menyentuhnya sama sekali. Ia masih terdiam. Tak melihat apapun terlebih Mina. Mina bingung dengan perilaku Emilo. tiba-tiba Emilo tersadar. Ia menatap Mina yang penuh tanya.
“sorry.. aku Cuma lagi… kamu tau.. sedikit pusing.” Emilo mengusap wajahnya. Mata Mina terarah pada pakaian Emilo yang basah karena keringat.
“baju kakak basah.” Mina berdiri dan pergi. Tak lama kemudian ia datang membawa sebuah kemeja. “ini baju ayah.. tapi kakak bisa pake ini dulu.” Mina memberikannya kearah Emilo. “kalo kakak mau.” Mina sedikit menunduk. Ia pikir seorang superstar seperti Emilo takkan mau menggunakan pakaian seperti ini. Emilo melihat pakaian itu. dan menatap wajah Mina—wajahnya malu. Emilo sedikit tersenyum. Ia mengambil pakaian itu. Mina melihat Emilo dan tersenyum.
“makasi.” Emilo kini tersenyum penuh. Mina tertunduk malu lagi. Emilo segera pergi mengganti pakaiannya yang basah. Kali ini Mina benar-benar merasakan hal itu. ia merasakan getaran saat tangan Emilo menyentuh kulitnya. Ia merasakan nyaman saat dipelukan Emilo. namun ia segera menampiknya. Ia hanya mengidolakannya. Bukan mencintainya. Emilo keluar dari ruangan tempat Ia mengganti pakaian. Kemeja itu longgar. Itu membuat wujudnya terlihat menjadi seorang lelaki remaja yang polos. Mina tersenyum didalam hati.
“jadi.. ini rumah kamu?” Emilo memulai pembicaraan. Ia mulai melupakan kejadian yang menyakitkan itu. mereka sedang di belakang rumah Mina. Ada sebuah taman dan kolam renang disana.
“ya.” Jawab Mina singkat. “aku boleh nanya.?”
“silahkan..” Emilo menatap sekeliling taman itu.
“aku tau, tadi kakak nangis.” Emilo tersentak. Ia mulai mengingat kejadian itu lagi. “ada apa kak?” Mina mulai memberanikan untuk bertanya. Emilo menghela napasnya dan melihat Mina yang berada di sampingnya.
“kamu tau kenapa aku menyimpan begitu banyak gambar-gambar tentang Sandra?” celetuk Emilo. Mina menoleh kearahnya. Ia tau jawabannya. Ternyata semua itu benar?
“semua itu benar?”
“nggak semuanya benar.” Emilo berjalan beberapa langkah dari posisi Mina. “kita memang nggak pernah punya hubungan apa-apa.” Emilo terdiam sejenak. “sejak SMA, aku memang menyimpan rasa tentang dia. Tapi semua itu susah dikatakan. Aku terlalu bodoh dan selalu mengulur waktu. Sampai akhirnya kami lulus dan tak pernah bertemu lagi.” Ia berbalik menghadap Mina. “kami bertemu lagi saat kami mulai terkenal. Ia menjadi model dan aku musisi.” Mata Emilo menerawang mencoba mengingat masa lalu. Mina terus menatapnya. Ia mendekati Emilo. “tapi semuanya gagal! Aku ngeliat dia dinner sama cowok. Deket banget. Aku tau, dia udah dapetin hati Sandra. Dan aku kalah.” Mata Emilo berkaca-kaca. Ia menangis. Tanpa sadar Mina memeluknya.
“peluk aku kak. peluk aku kalau itu bisa buat kakak ngerasa tenang.” Celetuknya. Emilo tak berusaha melawan pelukan itu. ia merasa nyaman seperti ini. Seolah ada yang mengerti perasaannya. Ia nyaman di dalam pelukan Mina. “terkadang kita harus merasa kalah, tapi bukan berarti kakak kalah!” Lanjutnya. Mina menutup matanya. Merasakan jantung Emilo yang berdebar. Merasakan detik demi detik berlalu di sekelilingnya. Emilo membalas pelukannya—erat. Lelaki itu tak menyadari perbuatannya. Mereka berpelukan. Bagaikan pasangan kekasih.
Rio keluar dari rumah Mina tanpa sepengetahuan kekasihnya. Ia tak menyangka kekasihnya benar-benar bertemu dengan pujaannya. Dan ia tak menyangka hal yang ia takutkan benar-benar terjadi. Mereka berpelukan! Emilo dan Mina. Bukan memeluk atau dipeluk, tapi benar-benar berpelukan. Hatinya terluka. namun itulah yang kekasihnya inginkan. Ia mengendarai motornya di keriuhan jalanan. Betapa hancur perasaannya saat melihat mereka berpelukan. Ia terlihat seperti orang bodoh melihat kekasihnya berpelukan dengan orang lain. Otaknya telah diselimuti emosi. Ia mulai menaikan kecepatan motornya.
Sandra pulang dari pertemuannya dengan Devano—mungkin lebih pantas dikatakan ‘kencan’. Ia merebahkan badannya di tempat tidur. oh! Ia lupa bahwa ia sama sekali tak membawa handphone seharian ini. Ia mencari-cari handphone itu. dan ia menemukannya di meja di samping tempat tidurnya. Ia meraihnya dan memeriksanya. Ternyata benar! Ada beberapa pesan dan panggilan tak terjawab. Salah satunya dari Emilo.
Aku tunggu kamu di restoran deket pantai
Ada sesuatu yang mau aku omongin sama kamu
Penting!
Jam 5.30
Oke?
Sandra terdiam. Ia tak tau harus mengatakan apa. ia benar-benar tak menyangka ada dua lelaki yang mengajaknya bertemu sore ini. Dan di tempat yang sama! Ia membalas pesan dari Emilo.
Sorry superstar… :(
Hape aku tadi ilang.. baru ketemu tadi
Kalo kamu ajak aku hari ini juga…aku nggak bisa dateng
Aku ada urusan..
Gimana kalo besok?
Pesan itu terkirim. Beberapa menit berselang. Tak ada balasan dari Emilo. apa dia marah? Ah tidak mungkin! Sandra sangat tau lelaki itu. ia tak pernah bisa marah. Apalagi dengan wanita. Itulah kelemahan lelaki itu. ia mencoba menutup matanya untuk tidur. namun pikirannya terus terpusat kepada Emilo.
Mengapa aku mengingatnya?
Ada apa dengannya?
Benak wanita itu. namun segera ditampiknya. Ia mulai mencoba memejamkan matanya lagi.
Emilo membuka matanya. Dingin mulai menyergap tubuhnya. Ia melihat jam tangannya—pukul 05.12 pagi. Ia melihat ke sekelilingnya. Ia masih berada di rumah Mina. Langit masih sedikit gelap. Ia mencari-cari Mina. Gadis itu masih tertidur di kamarnya. Berselimut seperti kepompong karena udara yang masih dingin. Emilo memelankan langkahnya. Meraih handphone, dompet dan kunci mobilnya dan segera pergi dari tempat itu. ia tau bahwa Sandra telah mengirimkan pesan padanya. Namun ia segera menghapusnya. Ia tak ingin mengingat wanita itu dulu. Itu akan membuatnya sakit, hancur dan melemah.
Pukul 06.30 pagi—Mina terbangun dari tidurnya. Membuka jendelanya dan segera keluar dari kamarnya. Ia mencari Emilo. apakah lelaki itu masih tertidur? Namun ia sudah tak ada di sofa. Mina mencarinya di dapur, kolam renang dan kamar mandi. Lelaki itu tak ada. Ia benar-benar pergi. Mina menemukan sebuah memo di meja ruang tamu.
Sorry aku harus buru-buru pulang
Maaf udah buat kamu bingung
Dan maaf aku pulang nggak pamit
Mina terdiam. Ia merasa kehilangan lelaki itu. datang dengan tiba-tiba dan pergi dengan tiba-tiba. Jujur. Hatinya hampa saat mendengar pengakuan Emilo tentang Sandra. Ternyata benar, lelaki itu menyukai Sandra. Walaupun semua itu tak ada hubungan dengannya. Tapi entak mengapa ia merasakan sakit. Sakit yang amat dalam sampai-sampai ia sendiri tak menyadarinya. Tak beberapa lama kemudian ia mendapat telefon dari rumah sakit yang mengatakan bahwa Rio, kekasihnya mengalami kecelakaan. Ia panik. Tanpa aba-aba lagi, ia segera menuju tempa kekasihnya dirawat.
“aku nggak apa-apa” jelas Rio walaupun tangan dan dadanya diperban dan kakinya di-gips. Mina menghela nafasnya. Ia terlihat lebih sabar. Terlihat lebih dewasa dari sebelumnya. Ia memberikan kekasihnya minum. Pandangan lelaki itu berbeda dari biasanya.
“makanya kalo naik motor itu hati-hati.” Ujar Mina sambil duduk di samping tempat tidur Rio.
“aku bakal hati-hati kalo kamu juga bisa hati-hati sama hubungan kita.” Celetuk Rio ketus. Mina mengerutkan dahinya.
“kamu kenapa?”
“kamu pikir aja sendiri.” Lelaki itu masih ketus. Ia sama sekali tak menatap Mina.
“kamu apa-apaan sih? Aku panik dengar kamu kecelakaan! Dan sampe disini aku diginiin??!” Mina mulai tak terkendali. Ia bangkit dari duduknya meraih tas yang dibawanya dan pergi meninggalkan kekasihnya. Rio yang masih marah dengan Mina tak menahan gadis itu. ia diam. Tak dapat berkata apa-apa. setengah hatinya marah dengan kejadian kemarin. Namun setengah hatinya lagi masih menginginkan gadis itu. ia hanya tak ingin kehilangannya. Ia tak ingin cintanya berakhir.